Thursday 15 May 2014



Pengantar
Pada hakikatnya, Republik Indonesia adalah suatu negara yang terbentang luas dengan banyak berjajar pulau. Selain itu, Indonesia juga kaya akan bahasa, budaya dan suku bangsa. Kepulauan Indonesia juga memiliki posisi yang sangat strategis, disamping diapit oleh dua benua, yaitu Asia dan Australia. Kepulauan Ini juga terletak diantara dua samudra, yaitu pasifik dan Indonesia. Oleh karena itu, posisi kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antarbangsa. Aspek kelautannya merupakan integrator dari ribuan pulau yang terpisah-pisah itu.
Berbicara tentang kepulauan Indonesia, salah satu yang paling mengesankan adalah bentangan peradaban bahari yang telah menjadi karakteristik bangsa ini selama berabad-abad. Dengan berjajarnya pulau-pulau serta alam lautnya merupakan penopang dari beragam bentuk tradisi serta budaya yang bermuara pada integrasi negara. Dengan adanya laut, orang dapat saling berjumpa dan berinteraksi.
            Satu wilayah bahari yang tak boleh lekang dari masalah perbincangan perairan di Indonesia, adalah mengenai perairan Bangka-Belitung. Pada setiap masanya, daerah ini memiliki karakteristik panorama alam serta bentangan sejarah yang majemuk. Tak ayal, dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan.

            Guna memudahkan pembahasan, penulis akan memaparkan hal-hal apa saja tentang Bangka Belitung dari berbagai aspek, yaitu mulai dari letak geografisnya hingga kemajemukan masyarakatnya. Mengenai Bangka Belitung yang menjadi memori kolektif pembentuk integritas bangsa.
           



A.Bangka Belitung dalam Sejarah

Sumber: //http//pangkalpinang.bpk.go.id.
Bangka Belitung merupakan suatu provinsi yang terletak di pulau Sumatra. Sebelumnya,  provinsi ini merupakan bagian dari salah satu provinsi di Sumatra, yaitu Sumatra Selatan yang kemudian telah diresmikan menjadi provinsi tersendiri pada tahun 2000. Kepulauan Bangka Belitung sendiri terdiri atas pulau-pulau kecil, seperti pulau Pongok, pulau Lepar dan pulau Mendanau. Tercatat hanya 50 pulau yang dihuni oleh masyarakat dari total berjumlah 470 pulau. Hanya saja, sebagai penopang dari banyaknya pulau-pulau tersebut ialah Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Provinsi Bangka Belitung terletak pada 104 derajat 50o sampai 108 derajat 18o bujur timur dan 1 derajat 20o sampai 3 derajat 15o. Oleh karena letak geografis seperti itulah yang membuat sebagian besar kepulauan Bangka Belitung berupa daerah dataran rendah. Dengan daerah pantainya yang hampir sebagian besar langitnya berawan. Beberapa bukit kecil tersembul berada disana-sini, terutama dibagian tengah pulau itu.
 Luas wilayah Kabupaten Bangka kurang lebih sebesar 3.028.794 Km2. Secara tidak langsung, wilayah kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan wilayah kota lainnya di provinsi kepulauan Bangka Belitung, yaitu wilayah kota Pangkal Pinang, kabupaten Bangka Tengah dan kabupaten Bangka Barat. Pulau Bangka sendiri juga memiliki luas sekitar 11.475 Kilometer Persegi.
Seperti di Indonesia pada umumnya, keadaan alam kepulauan Bangka Belitung bisa dibilang memiliki iklim tropis kalau dilihat dari aspek cuaca dan keiklimannya, dengan variasi hujan antara 43,6 mm hingga 360,2 mm setiap bulannya, dengan suhu rata-tara 26 derajat celcius hingga 30 derajat celcius setiap tahunnya. Tanah yang dimiliki di daerah Bangka Belitung juga sebagian kurang bagus untuk jenis tanaman tertentu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam.[2]
Bangka Belitung juga terkenal sebagai pulau penghasil timah dan lada. Daerah ini juga merupakan bagian dari “sabuk timah” Yang membentang dari Thailand, Malaysia, sampai ke Bangka Belitung, Singkep dan daerah Nusantara lainnya. Penduduk setempat juga menanam pelbagai jenis lada, antara lain ada yang bernama lada kawur, lada manna dan lada putih.
Tetapi dari setiap lada yang dihasilkan, mempunyai keunggulannya masing-masing. Lada putih memiliki kwalitas yang lebih superior dibandingkan dengan lada lainnya. Oleh karena itu, lada putih berharga lebih mahal dibandingkan dengan lada lainnya.[3] Dari segi kekayaan alam selanjutnya yang dihasilkan oleh kepulauan Bangka Belitung ialah timah. Komoditas ini merupakan suatu sumber kekayaan alam yang penting, karena selain sebagai salah satu komoditas utama, timah juga banyak yang dieskpor ke luar-luar negeri, terutama Cina dan negara Asia lainnya.[4]

Aspek dari sejarah Bangka Belitung merupakan suatu kepulauan yang banyak mengalami kepemerintahan kerajaan-kerajaan. Tercatat pada Abad ke-7, Kerajaaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit pernah mendiami wilayah-wilayah Bangka Belitung. Sehingga sekitar tahun 1365 dimana masa kejayaan Kerajaan Majapahit sedang berada pada puncak kejayaannya, kepulauan Bangka menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut. Tetapi tidak lama pulau ini berhasil ditaklukan oleh Palembang sekitar abad ke-15 dibawah kepemimpinan Cakradiningrat II.
Seiring berjalannya waktu, kepulauan ini mengalami perpindahan kekuasaan dari tangan penguasa baru. Kurang lebih abad ke-15, disamping Bangka Belitung sendiri sudah berhasil ditaklukkan oleh Palembang, disana sudah terbentuk pula suatu kerajaan baru yang bernama kerajaan Badau, yang kala itu dipimpin oleh raja pertamanya yang bernama Datuk Mayang Geresik. Sebagai ibukota kerajaannya, dipilihlah daerah Pelulusan lah sebagai pusat pemerintahanya saat itu. Kota-kota yang dikuasai oleh kerajaan Badau cukup banyak. Mulai dari daerah Badau, Simpang Tiga, Bange, Manggar dan Gantung.[5]
Baru pada abad ke-17, pulau Bangka Belitung banyak disinggahi oleh para pedagang-pedagang Gujarat yang notabene berasal dari bangsa Arab dan Cina. Memang, sejarah pulau Bangka tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan Tiongkok, terutama ketika banyak berdatangan para migran dari Tiongkok ke pulau ini. Melihat dari sejarah kedatangan para migran Tionghoa di Pulau Bangka, ternyata budaya bedol desa juga sudah dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa. Setidaknya, masyarakat Tionghoa di pulau Bangka yang hidup di masa-masa selanjutnya, adalah terbentuk dari praktik bedol desa yang menurut catatan Belanda berlangsung sejak awal abad ke-18 atau sekitar tahun 1710 Masehi.
Seiring berjalannya waktu, keturunan Tionghoa atau bangsa Cina yang lahir dan pernah tinggal di Bangka Belitung  namun kemudian kembali lagi ke Tiongkok dan melakukan kunjungan ke Bangka Belitung dalam rangka bertemu dengan keluarga sekaligus mengenang tanah kelahirannya. Kunjungan para keturunan Tiongkok tersebut merupakan peluang untuk mempromosikan obyek wisata yang banyak terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Oleh karena itu, kepulauan Bangka Belitung mempunyai objek wisata yang sangat menarik dan menawan. Seperti perkebunan lada, sawit maupun karet, wisata alam, maupun wisata sejarah dan budaya yang berkaitan dengan budaya Tiongkok/Cina seperti ritual “sembahyang rebut” (Chit Ngiat Pan) dan Imlek. Pengembangan kampung Gedong sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi warga keturunan Cina yang masih mempunyai keterikatan dengan Bangka untuk mengunjungi tanah kelahiran maupun sanak saudara sekaligus bernostalgia.
Selain Bangsa-bangsa itu, pada tahun 1668 Bangsa Belanda mencoba menjajaki perdagangan di Belitung dengan cara berdagang, walaupun tidak mendapat keuntungan yang besar disana. Tetapi dengan cara seperti itulah bangsa Belanda juga mengetahui dan mengenal kepulauan Belitung. Konsepnya dengan cara berlayar dan berlabuh di suatu pesisir pantai barat daya yang disebut Sungai Balok, yang pada saat itu merupakan pelabuhan yang sering disinggahi oleh para pedagang-pedagang asing.[6]
            Selanjutnya, dalam sejarah kemaritiman pulau Bangka Belitung satu hal yang patut digarisbawahi adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut Nusantara telah terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagaskar dan Australia. Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan Indonesia menjadi jalur transpotasi laut yang penting dalam pelayaran dunia.
Terkait dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra, penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting dalam kemajuaan jaringan perdagangan internasional Bangka Belitung.
Melalui pelayaran dan perdagangan, pelbagai tempat saling bersentuhan dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya. Apalagi kepulauan Bangka Belitung sendiri terletak diantara silang pelayaran dan perdagangan antar wilayah yang berpusat di Kanton, Cina. Sejak awal masehi, kepulauan Indonesia telah terlibat di dalam dinamika itu.
Memang secara geografis, pelayaran dan perdagangan itu melintasi beberapa jalur di kepulauan Indonesia dalam upaya mencapai Kanton guna meraup keuntungan. Termasuk pulau Bangka Belitung, yang masih tergolong pulau terdepan perairan Nusantara, sejumput keprihatinan muncul yang berkenaan dengan perhatian terhadap penulisan sejarahnya. Historiografi Bangka Belitung, memang tergolong masih jarang ditulis oleh sejarawan. 
Pulau ini, dalam kaitan sumber daya tambang berupa timah, kerap dikaitkan dengan pulau tetangganya, Bangka Keduanya dahulu merupakan bagian administratif dari Palembang. Oleh karena itu, gambaran tentang masa lalu pulau itu tidak lebih daripada bagian perkembangan Palembang. Sehubungan itu, inisiatif dan upaya menyibak masa lampau pulau dan masyarakat Belitung perlu disambut baik dan diberi dukungan penuh demi penulisan Sejarah Indonesia yang utuh dan terintegrasi.[7]
B. Laut sebagai Persatuan Nasional
Membahas tentang penjelajahan kelautan di Nusantara, dalam perjalanan waktu, mengalami era gelombang evolusi pelayaran dunia. Nusantara yang dikenal sebagai negara kepulauan secara geografis sangat terbuka untuk siapa saja dari segala penjuru dunia untuk mengirim dan menerima kebudayaan melalui jalur laut. Laut sendiri merupakan akses teansportasi penting bagi masyarakat lintas pulau di Nusantara.
            Melalui tradisi pelayaran, terjalinlah suatu informasi dan komunikasi antarsuku bangsa yang membentuk suatu integrasi bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk bukti tersebut dapat diketahui sendiri dengan adanya bangunan-bangunan penduduk pelayaran seperti; pelabuhan, perbengkelan perahu dan kapal serta bangunan lainnya.[8]
Rasa dan tali persaudaraan sosial sangatlah kental dan terpelihara di Bangka Belitung. Baik di kota maupun di desa. Keadaan di desa mempunyai kondisi kekerabatan yang lebih terjaga diantara masyarakatnya, dibanding di perkotaannya. Kolektivisme itu sendiri terlihat dari sikap gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat pribumi yang telah menjadi adat istiadat daerah setempat.
            Contoh kecil dari sikap gotong royong dari masyarakat setempat ialah, jika masyarakat setempat ingin membangun sebuah aula atau rumah, orang-orang di sekitar lingkungannya bahkan dari desa lain datang dan serentak langsung mambantu guna menyelesaikan bangunan tersebut. Bantuan mereka bersifat sukarela, tanpa mengharapkan imbalan, karena mereka tahu apabila mereka ingin membangun hal yang sama atau sebagainya semua organisasi masa pasti membantunya.
            Memang, rasa kesosialan yang demikian tidak dapat diukur dengan pandangan sebelah mata. Pola dasar hidup gotong royong telah menjadi unsur penting pembangun visi persatuan di tengah masyarakat Indonesia. Perbedaan status sosial, agama, pangkat, maupun ras, seakan telah luntur dan menjelma menjadi suatu semangat kerukunan dalam membangun mental dan etos kerakyatan. 
            Gotong royong yang dimaksud disini yaitu dilihat sebagai suatu alat in-group. Istilah ini berhubungan dengan komunikasi mendalam yang mengikat golongan-golongan itu. Bukan mengikat anggota-anggota luar yang terkadang harus memberi imbalan untuk suatu pengorbanan atau pertolongan terhadap orang-orang desa terhadap suatu desa.[9]

                                                                                                        
                        Sumber://http//http://bangka.tribunnews.com
“Gotong royong masyarakat”
Tradisi atau kebudayaan ialah keseluruhan dari hasil pengembaraan batin, intelektual, maupun rasa estetika (keindahan). Manusia yang hidup bermasyarakat, sudah barang tentu memiliki suatu kearifan lokal yang khas dan berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan budaya serta penghayatan tradisi yang memadai, berarati telah turut pula menjaga ketahanan negara dan bangsanya, khususnya terkait kekayaan khazanah intelektualnya.
Kebudayaan dipelajari dari golongan atau masyarakat dalam kehidupan bersama dan tidak dilahirkan hanya berkutat pada sifat biologis atau karena naluri. Umpamanya terdapat pada masyarakat semut atau burung manyar dan gelatik untuk membuat sanggarnya tanpa belajar.
Memasuki era kehidupan beraksara, manusia pun telah mencerap suatu pembaruan yang radikal di ruang publiknya. Masing-masing bangsa dari pelbagai belahan negeri memiliki ciri khas tradisi dan kebudayaan masing-masing. Salah satu dari sekian banyak kekhasan ini, ialah tradisi dari Bangka Belitung yang masih hidup dan masih banyak dijumpai yaitu Tradisi Perang Ketupat.
Tradisi tersebut merupakan tradisi asli masyarakat Bangka Belitung yang pada saat itu belum adanya agama atau kepercayaan. Dengan tujuan memanggil roh halus dan memerangi roh-roh halus yang jahat yang kerap kali mengganggu masyarakat setempat.

Tradisi tersebut juga menggunakan metode upacara yang dipimpin oleh tiga orang dukun, yaitu dukun darat, dukun laut dan dukun yang paling sesepuh. Tujuan dari upacara sendiri ialah untuk memanggil para roh halus dan memberi makan kepada mereka dengan cara meletakkan di atas atap rumah yang terbuat dari kayu dan dilakukan dengan bergiliran. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, masuknya Islam di Bangka membuat tradisi tersebut berubah cara dan subtansinya. Walaupun tujuanya sama namun berbeda caranya.[10]
“Tradisi lempar ketupat”sumber://http//www.forum.viva.co.id
Membicarakan Islam berarti membicarakan kepercayaan, di Bangka Belitung sendiri banyak yang menganut agama Islam dalam kata lain Islam merupakan agama yang mendominasi masyarakat setempat, disamping penganut agama Kristen, Hindu, Budha maupun aliran kepercayaan Kong Hu Cu. Agama merupakan salah satu hal yang sangat penting. Agama merupakan suatu bentuk pemujaan terhadap Tuhan, baik secara pribadi maupun umum. Misalnya dengan melakukan persembahan korban, pertemuan, prosesi dan lain-lain itu merupakan suatu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.[11]
Bertitik tolak dari kenyataan sejarah, masuknya Islam sendiri ke Sumatera tepatnya Sumatra Selatan yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya, adalah melalui pulau Bangka yang waktu itu  masih merupakan bagian dari Palembang. Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya kemiripan kebudayaan yang telah berkembang di Malaka dan Bangka. Kemiripan tersebut dapat diidentifikasi pada beberapa simbol budaya dan jenis permainan, seperti tampes yaitu sejenis kopiah dan baju teluk belanga dan munculnya jenis permainan sepak raga yang dibuat dari rotan sagak.
Dalam struktur perekonomiannya kepulauan Bangka Belitung sendiri memiliki sektor kelautan dan pertanian yang paling dominan dibandingkan sektor yang lainnya seperti penambangan atau industri. Oleh karena itu, dengan keadannya yang seperti itu, sudah seharusnya pembangunan ekonomi di provinsi ini berpihak kepada pembangunan perekonomian rakyat. Terutama di daerah pedesaan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lingkungan hidup yang begitu dekat dengan laut telah mendorong penduduk pantai di wilayah Bangka Belitung untuk mengembangkan suatu cara hidup yang sedikit banyak besifat maritim. Nelayan merupakan profesi sebagian besar masyarakat yang hidup di dekat laut. Baik mengarungi laut dengan menggunakan perahu besar demi mencari ikan, atau menggunakan perahu kecil untuk laut yang dangkal, tergantung kebutuhan dan alat-alat yang mereka punya.[12]
Kehidupan para nelayan sendiri di Bangka atau pada umumnya di Indonesia, tidaklah dikategorisasikan sebagai mata pencarian suku bangsa-suku bangsa tertentu saja, akan tetapi bisa dikatakan sebagai mata pencaharian bagi seluruh suku bangsa Indonesia yang pada umumnya tinggal di tepi pantai dan laut. Dengan laut sebagai media atau mata pencariannya dan nelayan sebagai pekerjaanya.


“Nelayan”
Sumber://http//www.antarbabel.com
Secara keseluruhan, nelayan di Indonesia tampaknya ada beberapa suku bangsa yang memang menjadikan mata pencarian dan mengandalkan laut sebagai jati diri suatu suku bangsa yang bersangkutan. Memang secara tidak langsung semua berkaitan dengan suku bangsa tersebut sehingga secara mitologis bercerita tentang laut beserta isinya.
Disamping itu, selain keindahan pulau Bangka sendiri, perairan pulau Bangka pun banyak menarik perhatiaan kelompok nelayan di luar daerah tersebut, oleh karena ikannya yang beragam dan juga keindahan biotiknya yang menawan. Misalnya kaum nelayan suku Bugis. Pada mulanya mereka hanya sekedar datang pada waktu panen ikan, tetapi lama-kelamaan mereka kemudian menetap dan membaur dengan masyarakat setempat sampai-sampai membuat perkampungan sendiri.
Pada intinya laut merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut orang dapat mengeksploitasikan sumber daya biota lautnya dan kegiatan-kegiatan kemaritiman yang menjanjikan secara ekonomis. Pada mulanya hanya bertujuan untuk mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan kesejahteraan sendiri atau kata lainnya untuk membangun kekayaan dan kejayaan dalam bidang kemaritiman.
Seperti yang kita ketahui, dalam sektor perekonomian, selain usaha dagang yang dilakukan oleh masyarakat Bangka beraneka ragam. Selain nelayan, masyarakat lain juga ada yang memiliki profesi yang berbeda, seperti buruh penambangan dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui, pulau Bangka sendiri adalah pulau penghasil timah, dengan banyaknya penggalian dimana-mana baik di daratan maupun di lepas pantai. Oleh karena itu buruh penambangan menjadi pekerjaan yang banyak dilakoni oleh masyarakat setempat baik di kota maupun masyarakat desa yang berada di perkampungan dan lepas pantai.[13]
Dengan keterbukaan masyarakat Bangka atas pendatang baru itulah yang membuat pulau ini bercorak heterogen. Di pulau ini juga banyak terdapat berbagai jenis suku bangsa. Mereka membaur, berkembang dan tetap menjaga budaya mereka masing-masing. Di samping orang-orang dari suku Bugis, suku Madura, suku Butun, terdapat suku Jawa, Bali dari daratan Sumatera (Medan, Aceh, Palembang, Padang dan lain-lain), Ambon dan sebagainya.
Dalam masyarakat majemuk yang seperti itulah, yang membuat segala gerak langkah kehidupan berkisar pada usaha pencaharian nafkah. Setiap individu tampaknya selalu sibuk dan giat bekerja. Komplek perumahan karyawan yang dibangun di sekitar pertambangan yang kadang jauh terpisah dari kampung-kampung, membawa corak atau bentuk kehidupan yang lain. Tetapi hal yang nampaknya seperti pemencilan ini ternyata tidak pernah membawa pengaruh atau menimbulkan hal-hal yang negatif oleh karena komunikasi selalu terpelihara dengan baik.




Penggalian timah dibabel” Sumber://http://m.beritahukum.com
C. Peran Laut Bangka Belitung sebagai salah satu Perekat Nusantara

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya ; Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.[14] 
Keberadaan laut khusunya laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas merupakan sesuatu yang sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul suatu integrasi yang awalnya dimulai dari intensitas mereka dalam pergaulan antarpulau, yang terjalin lewat perdagangan.
Integrasi pada dasarnya merupakan suatu penyatuan wilayah dalam sebuah negara yang berdaulat. Secara umum integrasi menggambarkan suatu proses persatuan dan kesatuan orang- orang dari berbagai wilayah yang berbeda, walaupun memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi.[15]


Menjadi salah satu negara kepulauan. Indonesia sendiri merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Secara fisik memang antara satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tetapi dilihat dari sisi kemaritiman perpisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara sosialis, ekonomis dan kultural.
            Secara geografis, memang kepulauan Nusantara sangatlah strategis sebagai jalur perdagangan internasional, yakni diantara dunia barat dan dunia timur. Misalanya dari sisi barat, banyak kapal-kapal berdatangan dari Persia, India, Mesir dan negara-negara Eropa. Sedangkan dari sisi timur meliputi negeri Jepang, Cina dan Filipina. Dengan latar belakang itu, maka tidaklah salah jika menyebut daerah itu sebagai kunci perdagangan laut antara barat dan timur.[16]
Laut Bangka Belitung merupakan salah satu kawasan lintas perairan yang terletak di rute perdagangan internasional Nusantara. Bukan hanya itu, dilihat dari segi aspek potensi alam dan hasil buminya yang bernilai jual tinggi, dipandang mampu memberikan kesejahteran bagi masyarakat dan minciptakan ketahanan ekonomi yang menjadi penyokong terbentuknya suatu integrasi bangsa.
            Posisi strategis Bangka Belitung, sebagai satu kawasan bahari yang dilewati oleh kapal-kapal mancanegara, sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai suatu wacana terkait upaya menumbuhkembangkan dan mempererat persatuan bangsa. Berangkat dari sejarah panjang kedua pulau ini, yang memang amat lekat dengan kultur multikulturalismenya, menjadi landasan kuat mengapa pulau-pulau ini tepat untuk dijadikan visi merajut persatuan berbasiskan tradisi serta budaya masyarakatnya.
Terhamparnya ladang timah, dan keberhasilan membudidayakan varietas lada yang laris, baik di pasaran lokal maupun internasional, menjadi realitas lain penyokong suburnya iklim keberagaman budaya disana. Kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi, menjadi kebutuhan vital dalam membangun iklim bermasyarakat yang penuh dengan ketentraman dan keamanan. Kondisi ini, patut untuk dijadikan alternatif contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam upaya mengintegrasikan potensi alam dengan wawasan kesatuan bangsa. 


Tidak bisa dipungkiri, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki keadaan alam, potensi strategis perekonomiaan dan letak geografis yang berbeda. Namun bagitu, hendaklah perbedaan-perbedaan fisik tersebut janganlah dianggap sebagai hambatan utama dalam merajut keterpaduan dalam berbangsa dan bernegara.
            Seperti Soekarno, kawasan Nusantara merupakan ruh terbentuknya suatu kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebutlah yang menjadi titik tolak bagi bangsa Indonesia dalam rangka membahas batas-batas wilayah yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan lain-lain.[17] Hal itulah yang dimaksud dengan integrasi bangsa.

Penutup
Bangka Belitung, merupakan daerah kawasan bahari yang merupakan jalur lintas perdagangan internasional. Dengan berbagai macam keindahan biota lautnya dan kekayaan alamnya seperti timah dan lada, ditambah dengan keanekaragaman masyarakatnya yang majemuk, menambah eksotisme tersendiri dari pulau ini.
Keanekaragaman suku bangsa yang hidup disana selama berabad-abad, menjadikan Bangka Belitung sebagai salah satu provinsi yang berhasil memadukan budaya yang saling berbeda ke dalam kesatuan bangsa, dalam hal ini NKRI. Selain itu, integrasi bangsa yang berhasil dirawatnya, disokong pula oleh kondisi ekonomi yang stabil. Lada dan timah, sejak berabad-abad yang lampau hingga hari ini menjadi komoditas khas yang meningkatkan perekonomian warga.

Realitas historis yang ada di Bangka Belitung berpotensi menjadikannya sebagai salah satu percontohan daerah yang berhasil merawat potensi alam serta sosialnya. Tidak bisa dipungkiri, negeri ini membutuhkan figur daerah yang tepat, sebagai motivator keseriusan merawat budaya keragaman ditunjang dengan perekonomian strategis. Dua unsur tersebut terdapat dalam jati diri Bangka Belitung.

















Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65, (Bandung; Departemen Agama, 1992).
Dhaenuderadjat, Endjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok: Gramata Publishing, 2009).
Marsden, William, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas Bambu, 2008).
Shadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat (Jakarta; Rineka Cipta, 1993).
Supangan, Agus, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Suroyo, Agustina Magdalena Djuliati, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal 9 Februari 2002.
Tangkilisan, Yuda B.,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
Utomo, Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007).
Vlekle, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia, 2008).
On Line
www.kompas.co.id
www.eprints.undip.ac.id.



[1] Penulis adalah mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004) hlm 130.
[3] William Marsden, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas Bambu, 2008) hlm 138-139.
[4] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 159.
www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=23&kategori=info%20Budaya dan www.bangkapos.com.
[6] Bernard H. M. Vlekle, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia,2008) hlm. 137.
[7] Yuda B. Tangkilisan,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
[8] Bambang Budi Utomo, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007) hlm. 94-97.
[9] Hassan Shadily,Sosiologi Untuk Masyarakat (Jakarta;Rineka Cipta,1993) hlm. 205-206.
[10] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 262.
[11] Marsden,Sejarah Sumatra…, hlm. 263.
[12] Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai …,  hlm. 125-126
[13] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
[14] Al-Quran dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65 (Bandung ; DEPAG, 1992), hlm 341.
[15] Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal 9 Februari 2002. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id,Pukul 20.00tanggal 3 Oktober 2013.
[16] Agus Supangan, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003) hlm. 56.
[17] Endjat Dhaenuderadjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok,Gramata Publishing, 2009) hlm 83.Perairan Bangka Belitung sebagai Pembentuk Integritas Bangsa
Oleh: Yusuf Yordan[1]

Pengantar
Pada hakikatnya, Republik Indonesia adalah suatu negara yang terbentang luas dengan banyak berjajar pulau. Selain itu, Indonesia juga kaya akan bahasa, budaya dan suku bangsa. Kepulauan Indonesia juga memiliki posisi yang sangat strategis, disamping diapit oleh dua benua, yaitu Asia dan Australia. Kepulauan Ini juga terletak diantara dua samudra, yaitu pasifik dan Indonesia. Oleh karena itu, posisi kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antarbangsa. Aspek kelautannya merupakan integrator dari ribuan pulau yang terpisah-pisah itu.
Berbicara tentang kepulauan Indonesia, salah satu yang paling mengesankan adalah bentangan peradaban bahari yang telah menjadi karakteristik bangsa ini selama berabad-abad. Dengan berjajarnya pulau-pulau serta alam lautnya merupakan penopang dari beragam bentuk tradisi serta budaya yang bermuara pada integrasi negara. Dengan adanya laut, orang dapat saling berjumpa dan berinteraksi.
            Satu wilayah bahari yang tak boleh lekang dari masalah perbincangan perairan di Indonesia, adalah mengenai perairan Bangka-Belitung. Pada setiap masanya, daerah ini memiliki karakteristik panorama alam serta bentangan sejarah yang majemuk. Tak ayal, dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan.
            Guna memudahkan pembahasan, penulis akan memaparkan hal-hal apa saja tentang Bangka Belitung dari berbagai aspek, yaitu mulai dari letak geografisnya hingga kemajemukan masyarakatnya. Mengenai Bangka Belitung yang menjadi memori kolektif pembentuk integritas bangsa.
           



A.Bangka Belitung dalam Sejarah

Sumber: //http//pangkalpinang.bpk.go.id.
Bangka Belitung merupakan suatu provinsi yang terletak di pulau Sumatra. Sebelumnya,  provinsi ini merupakan bagian dari salah satu provinsi di Sumatra, yaitu Sumatra Selatan yang kemudian telah diresmikan menjadi provinsi tersendiri pada tahun 2000. Kepulauan Bangka Belitung sendiri terdiri atas pulau-pulau kecil, seperti pulau Pongok, pulau Lepar dan pulau Mendanau. Tercatat hanya 50 pulau yang dihuni oleh masyarakat dari total berjumlah 470 pulau. Hanya saja, sebagai penopang dari banyaknya pulau-pulau tersebut ialah Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Provinsi Bangka Belitung terletak pada 104 derajat 50o sampai 108 derajat 18o bujur timur dan 1 derajat 20o sampai 3 derajat 15o. Oleh karena letak geografis seperti itulah yang membuat sebagian besar kepulauan Bangka Belitung berupa daerah dataran rendah. Dengan daerah pantainya yang hampir sebagian besar langitnya berawan. Beberapa bukit kecil tersembul berada disana-sini, terutama dibagian tengah pulau itu.
 Luas wilayah Kabupaten Bangka kurang lebih sebesar 3.028.794 Km2. Secara tidak langsung, wilayah kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan wilayah kota lainnya di provinsi kepulauan Bangka Belitung, yaitu wilayah kota Pangkal Pinang, kabupaten Bangka Tengah dan kabupaten Bangka Barat. Pulau Bangka sendiri juga memiliki luas sekitar 11.475 Kilometer Persegi.
Seperti di Indonesia pada umumnya, keadaan alam kepulauan Bangka Belitung bisa dibilang memiliki iklim tropis kalau dilihat dari aspek cuaca dan keiklimannya, dengan variasi hujan antara 43,6 mm hingga 360,2 mm setiap bulannya, dengan suhu rata-tara 26 derajat celcius hingga 30 derajat celcius setiap tahunnya. Tanah yang dimiliki di daerah Bangka Belitung juga sebagian kurang bagus untuk jenis tanaman tertentu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam.[2]
Bangka Belitung juga terkenal sebagai pulau penghasil timah dan lada. Daerah ini juga merupakan bagian dari “sabuk timah” Yang membentang dari Thailand, Malaysia, sampai ke Bangka Belitung, Singkep dan daerah Nusantara lainnya. Penduduk setempat juga menanam pelbagai jenis lada, antara lain ada yang bernama lada kawur, lada manna dan lada putih.
Tetapi dari setiap lada yang dihasilkan, mempunyai keunggulannya masing-masing. Lada putih memiliki kwalitas yang lebih superior dibandingkan dengan lada lainnya. Oleh karena itu, lada putih berharga lebih mahal dibandingkan dengan lada lainnya.[3] Dari segi kekayaan alam selanjutnya yang dihasilkan oleh kepulauan Bangka Belitung ialah timah. Komoditas ini merupakan suatu sumber kekayaan alam yang penting, karena selain sebagai salah satu komoditas utama, timah juga banyak yang dieskpor ke luar-luar negeri, terutama Cina dan negara Asia lainnya.[4]

Aspek dari sejarah Bangka Belitung merupakan suatu kepulauan yang banyak mengalami kepemerintahan kerajaan-kerajaan. Tercatat pada Abad ke-7, Kerajaaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit pernah mendiami wilayah-wilayah Bangka Belitung. Sehingga sekitar tahun 1365 dimana masa kejayaan Kerajaan Majapahit sedang berada pada puncak kejayaannya, kepulauan Bangka menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut. Tetapi tidak lama pulau ini berhasil ditaklukan oleh Palembang sekitar abad ke-15 dibawah kepemimpinan Cakradiningrat II.
Seiring berjalannya waktu, kepulauan ini mengalami perpindahan kekuasaan dari tangan penguasa baru. Kurang lebih abad ke-15, disamping Bangka Belitung sendiri sudah berhasil ditaklukkan oleh Palembang, disana sudah terbentuk pula suatu kerajaan baru yang bernama kerajaan Badau, yang kala itu dipimpin oleh raja pertamanya yang bernama Datuk Mayang Geresik. Sebagai ibukota kerajaannya, dipilihlah daerah Pelulusan lah sebagai pusat pemerintahanya saat itu. Kota-kota yang dikuasai oleh kerajaan Badau cukup banyak. Mulai dari daerah Badau, Simpang Tiga, Bange, Manggar dan Gantung.[5]
Baru pada abad ke-17, pulau Bangka Belitung banyak disinggahi oleh para pedagang-pedagang Gujarat yang notabene berasal dari bangsa Arab dan Cina. Memang, sejarah pulau Bangka tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan Tiongkok, terutama ketika banyak berdatangan para migran dari Tiongkok ke pulau ini. Melihat dari sejarah kedatangan para migran Tionghoa di Pulau Bangka, ternyata budaya bedol desa juga sudah dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa. Setidaknya, masyarakat Tionghoa di pulau Bangka yang hidup di masa-masa selanjutnya, adalah terbentuk dari praktik bedol desa yang menurut catatan Belanda berlangsung sejak awal abad ke-18 atau sekitar tahun 1710 Masehi.
Seiring berjalannya waktu, keturunan Tionghoa atau bangsa Cina yang lahir dan pernah tinggal di Bangka Belitung  namun kemudian kembali lagi ke Tiongkok dan melakukan kunjungan ke Bangka Belitung dalam rangka bertemu dengan keluarga sekaligus mengenang tanah kelahirannya. Kunjungan para keturunan Tiongkok tersebut merupakan peluang untuk mempromosikan obyek wisata yang banyak terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Oleh karena itu, kepulauan Bangka Belitung mempunyai objek wisata yang sangat menarik dan menawan. Seperti perkebunan lada, sawit maupun karet, wisata alam, maupun wisata sejarah dan budaya yang berkaitan dengan budaya Tiongkok/Cina seperti ritual “sembahyang rebut” (Chit Ngiat Pan) dan Imlek. Pengembangan kampung Gedong sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi warga keturunan Cina yang masih mempunyai keterikatan dengan Bangka untuk mengunjungi tanah kelahiran maupun sanak saudara sekaligus bernostalgia.
Selain Bangsa-bangsa itu, pada tahun 1668 Bangsa Belanda mencoba menjajaki perdagangan di Belitung dengan cara berdagang, walaupun tidak mendapat keuntungan yang besar disana. Tetapi dengan cara seperti itulah bangsa Belanda juga mengetahui dan mengenal kepulauan Belitung. Konsepnya dengan cara berlayar dan berlabuh di suatu pesisir pantai barat daya yang disebut Sungai Balok, yang pada saat itu merupakan pelabuhan yang sering disinggahi oleh para pedagang-pedagang asing.[6]
            Selanjutnya, dalam sejarah kemaritiman pulau Bangka Belitung satu hal yang patut digarisbawahi adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut Nusantara telah terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagaskar dan Australia. Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan Indonesia menjadi jalur transpotasi laut yang penting dalam pelayaran dunia.
Terkait dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra, penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting dalam kemajuaan jaringan perdagangan internasional Bangka Belitung.
Melalui pelayaran dan perdagangan, pelbagai tempat saling bersentuhan dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya. Apalagi kepulauan Bangka Belitung sendiri terletak diantara silang pelayaran dan perdagangan antar wilayah yang berpusat di Kanton, Cina. Sejak awal masehi, kepulauan Indonesia telah terlibat di dalam dinamika itu.
Memang secara geografis, pelayaran dan perdagangan itu melintasi beberapa jalur di kepulauan Indonesia dalam upaya mencapai Kanton guna meraup keuntungan. Termasuk pulau Bangka Belitung, yang masih tergolong pulau terdepan perairan Nusantara, sejumput keprihatinan muncul yang berkenaan dengan perhatian terhadap penulisan sejarahnya. Historiografi Bangka Belitung, memang tergolong masih jarang ditulis oleh sejarawan. 
Pulau ini, dalam kaitan sumber daya tambang berupa timah, kerap dikaitkan dengan pulau tetangganya, Bangka Keduanya dahulu merupakan bagian administratif dari Palembang. Oleh karena itu, gambaran tentang masa lalu pulau itu tidak lebih daripada bagian perkembangan Palembang. Sehubungan itu, inisiatif dan upaya menyibak masa lampau pulau dan masyarakat Belitung perlu disambut baik dan diberi dukungan penuh demi penulisan Sejarah Indonesia yang utuh dan terintegrasi.[7]
B. Laut sebagai Persatuan Nasional
Membahas tentang penjelajahan kelautan di Nusantara, dalam perjalanan waktu, mengalami era gelombang evolusi pelayaran dunia. Nusantara yang dikenal sebagai negara kepulauan secara geografis sangat terbuka untuk siapa saja dari segala penjuru dunia untuk mengirim dan menerima kebudayaan melalui jalur laut. Laut sendiri merupakan akses teansportasi penting bagi masyarakat lintas pulau di Nusantara.
            Melalui tradisi pelayaran, terjalinlah suatu informasi dan komunikasi antarsuku bangsa yang membentuk suatu integrasi bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk bukti tersebut dapat diketahui sendiri dengan adanya bangunan-bangunan penduduk pelayaran seperti; pelabuhan, perbengkelan perahu dan kapal serta bangunan lainnya.[8]
Rasa dan tali persaudaraan sosial sangatlah kental dan terpelihara di Bangka Belitung. Baik di kota maupun di desa. Keadaan di desa mempunyai kondisi kekerabatan yang lebih terjaga diantara masyarakatnya, dibanding di perkotaannya. Kolektivisme itu sendiri terlihat dari sikap gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat pribumi yang telah menjadi adat istiadat daerah setempat.
            Contoh kecil dari sikap gotong royong dari masyarakat setempat ialah, jika masyarakat setempat ingin membangun sebuah aula atau rumah, orang-orang di sekitar lingkungannya bahkan dari desa lain datang dan serentak langsung mambantu guna menyelesaikan bangunan tersebut. Bantuan mereka bersifat sukarela, tanpa mengharapkan imbalan, karena mereka tahu apabila mereka ingin membangun hal yang sama atau sebagainya semua organisasi masa pasti membantunya.
            Memang, rasa kesosialan yang demikian tidak dapat diukur dengan pandangan sebelah mata. Pola dasar hidup gotong royong telah menjadi unsur penting pembangun visi persatuan di tengah masyarakat Indonesia. Perbedaan status sosial, agama, pangkat, maupun ras, seakan telah luntur dan menjelma menjadi suatu semangat kerukunan dalam membangun mental dan etos kerakyatan. 
            Gotong royong yang dimaksud disini yaitu dilihat sebagai suatu alat in-group. Istilah ini berhubungan dengan komunikasi mendalam yang mengikat golongan-golongan itu. Bukan mengikat anggota-anggota luar yang terkadang harus memberi imbalan untuk suatu pengorbanan atau pertolongan terhadap orang-orang desa terhadap suatu desa.[9]

                                                                                                        
                        Sumber://http//http://bangka.tribunnews.com
“Gotong royong masyarakat”
Tradisi atau kebudayaan ialah keseluruhan dari hasil pengembaraan batin, intelektual, maupun rasa estetika (keindahan). Manusia yang hidup bermasyarakat, sudah barang tentu memiliki suatu kearifan lokal yang khas dan berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan budaya serta penghayatan tradisi yang memadai, berarati telah turut pula menjaga ketahanan negara dan bangsanya, khususnya terkait kekayaan khazanah intelektualnya.
Kebudayaan dipelajari dari golongan atau masyarakat dalam kehidupan bersama dan tidak dilahirkan hanya berkutat pada sifat biologis atau karena naluri. Umpamanya terdapat pada masyarakat semut atau burung manyar dan gelatik untuk membuat sanggarnya tanpa belajar.
Memasuki era kehidupan beraksara, manusia pun telah mencerap suatu pembaruan yang radikal di ruang publiknya. Masing-masing bangsa dari pelbagai belahan negeri memiliki ciri khas tradisi dan kebudayaan masing-masing. Salah satu dari sekian banyak kekhasan ini, ialah tradisi dari Bangka Belitung yang masih hidup dan masih banyak dijumpai yaitu Tradisi Perang Ketupat.
Tradisi tersebut merupakan tradisi asli masyarakat Bangka Belitung yang pada saat itu belum adanya agama atau kepercayaan. Dengan tujuan memanggil roh halus dan memerangi roh-roh halus yang jahat yang kerap kali mengganggu masyarakat setempat.

Tradisi tersebut juga menggunakan metode upacara yang dipimpin oleh tiga orang dukun, yaitu dukun darat, dukun laut dan dukun yang paling sesepuh. Tujuan dari upacara sendiri ialah untuk memanggil para roh halus dan memberi makan kepada mereka dengan cara meletakkan di atas atap rumah yang terbuat dari kayu dan dilakukan dengan bergiliran. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, masuknya Islam di Bangka membuat tradisi tersebut berubah cara dan subtansinya. Walaupun tujuanya sama namun berbeda caranya.[10]
“Tradisi lempar ketupat”sumber://http//www.forum.viva.co.id
Membicarakan Islam berarti membicarakan kepercayaan, di Bangka Belitung sendiri banyak yang menganut agama Islam dalam kata lain Islam merupakan agama yang mendominasi masyarakat setempat, disamping penganut agama Kristen, Hindu, Budha maupun aliran kepercayaan Kong Hu Cu. Agama merupakan salah satu hal yang sangat penting. Agama merupakan suatu bentuk pemujaan terhadap Tuhan, baik secara pribadi maupun umum. Misalnya dengan melakukan persembahan korban, pertemuan, prosesi dan lain-lain itu merupakan suatu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.[11]
Bertitik tolak dari kenyataan sejarah, masuknya Islam sendiri ke Sumatera tepatnya Sumatra Selatan yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya, adalah melalui pulau Bangka yang waktu itu  masih merupakan bagian dari Palembang. Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya kemiripan kebudayaan yang telah berkembang di Malaka dan Bangka. Kemiripan tersebut dapat diidentifikasi pada beberapa simbol budaya dan jenis permainan, seperti tampes yaitu sejenis kopiah dan baju teluk belanga dan munculnya jenis permainan sepak raga yang dibuat dari rotan sagak.
Dalam struktur perekonomiannya kepulauan Bangka Belitung sendiri memiliki sektor kelautan dan pertanian yang paling dominan dibandingkan sektor yang lainnya seperti penambangan atau industri. Oleh karena itu, dengan keadannya yang seperti itu, sudah seharusnya pembangunan ekonomi di provinsi ini berpihak kepada pembangunan perekonomian rakyat. Terutama di daerah pedesaan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lingkungan hidup yang begitu dekat dengan laut telah mendorong penduduk pantai di wilayah Bangka Belitung untuk mengembangkan suatu cara hidup yang sedikit banyak besifat maritim. Nelayan merupakan profesi sebagian besar masyarakat yang hidup di dekat laut. Baik mengarungi laut dengan menggunakan perahu besar demi mencari ikan, atau menggunakan perahu kecil untuk laut yang dangkal, tergantung kebutuhan dan alat-alat yang mereka punya.[12]
Kehidupan para nelayan sendiri di Bangka atau pada umumnya di Indonesia, tidaklah dikategorisasikan sebagai mata pencarian suku bangsa-suku bangsa tertentu saja, akan tetapi bisa dikatakan sebagai mata pencaharian bagi seluruh suku bangsa Indonesia yang pada umumnya tinggal di tepi pantai dan laut. Dengan laut sebagai media atau mata pencariannya dan nelayan sebagai pekerjaanya.


“Nelayan”
Sumber://http//www.antarbabel.com
Secara keseluruhan, nelayan di Indonesia tampaknya ada beberapa suku bangsa yang memang menjadikan mata pencarian dan mengandalkan laut sebagai jati diri suatu suku bangsa yang bersangkutan. Memang secara tidak langsung semua berkaitan dengan suku bangsa tersebut sehingga secara mitologis bercerita tentang laut beserta isinya.
Disamping itu, selain keindahan pulau Bangka sendiri, perairan pulau Bangka pun banyak menarik perhatiaan kelompok nelayan di luar daerah tersebut, oleh karena ikannya yang beragam dan juga keindahan biotiknya yang menawan. Misalnya kaum nelayan suku Bugis. Pada mulanya mereka hanya sekedar datang pada waktu panen ikan, tetapi lama-kelamaan mereka kemudian menetap dan membaur dengan masyarakat setempat sampai-sampai membuat perkampungan sendiri.
Pada intinya laut merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut orang dapat mengeksploitasikan sumber daya biota lautnya dan kegiatan-kegiatan kemaritiman yang menjanjikan secara ekonomis. Pada mulanya hanya bertujuan untuk mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan kesejahteraan sendiri atau kata lainnya untuk membangun kekayaan dan kejayaan dalam bidang kemaritiman.
Seperti yang kita ketahui, dalam sektor perekonomian, selain usaha dagang yang dilakukan oleh masyarakat Bangka beraneka ragam. Selain nelayan, masyarakat lain juga ada yang memiliki profesi yang berbeda, seperti buruh penambangan dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui, pulau Bangka sendiri adalah pulau penghasil timah, dengan banyaknya penggalian dimana-mana baik di daratan maupun di lepas pantai. Oleh karena itu buruh penambangan menjadi pekerjaan yang banyak dilakoni oleh masyarakat setempat baik di kota maupun masyarakat desa yang berada di perkampungan dan lepas pantai.[13]
Dengan keterbukaan masyarakat Bangka atas pendatang baru itulah yang membuat pulau ini bercorak heterogen. Di pulau ini juga banyak terdapat berbagai jenis suku bangsa. Mereka membaur, berkembang dan tetap menjaga budaya mereka masing-masing. Di samping orang-orang dari suku Bugis, suku Madura, suku Butun, terdapat suku Jawa, Bali dari daratan Sumatera (Medan, Aceh, Palembang, Padang dan lain-lain), Ambon dan sebagainya.
Dalam masyarakat majemuk yang seperti itulah, yang membuat segala gerak langkah kehidupan berkisar pada usaha pencaharian nafkah. Setiap individu tampaknya selalu sibuk dan giat bekerja. Komplek perumahan karyawan yang dibangun di sekitar pertambangan yang kadang jauh terpisah dari kampung-kampung, membawa corak atau bentuk kehidupan yang lain. Tetapi hal yang nampaknya seperti pemencilan ini ternyata tidak pernah membawa pengaruh atau menimbulkan hal-hal yang negatif oleh karena komunikasi selalu terpelihara dengan baik.




Penggalian timah dibabel” Sumber://http://m.beritahukum.com
C. Peran Laut Bangka Belitung sebagai salah satu Perekat Nusantara

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya ; Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.[14] 
Keberadaan laut khusunya laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas merupakan sesuatu yang sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul suatu integrasi yang awalnya dimulai dari intensitas mereka dalam pergaulan antarpulau, yang terjalin lewat perdagangan.
Integrasi pada dasarnya merupakan suatu penyatuan wilayah dalam sebuah negara yang berdaulat. Secara umum integrasi menggambarkan suatu proses persatuan dan kesatuan orang- orang dari berbagai wilayah yang berbeda, walaupun memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi.[15]


Menjadi salah satu negara kepulauan. Indonesia sendiri merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Secara fisik memang antara satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tetapi dilihat dari sisi kemaritiman perpisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara sosialis, ekonomis dan kultural.
            Secara geografis, memang kepulauan Nusantara sangatlah strategis sebagai jalur perdagangan internasional, yakni diantara dunia barat dan dunia timur. Misalanya dari sisi barat, banyak kapal-kapal berdatangan dari Persia, India, Mesir dan negara-negara Eropa. Sedangkan dari sisi timur meliputi negeri Jepang, Cina dan Filipina. Dengan latar belakang itu, maka tidaklah salah jika menyebut daerah itu sebagai kunci perdagangan laut antara barat dan timur.[16]
Laut Bangka Belitung merupakan salah satu kawasan lintas perairan yang terletak di rute perdagangan internasional Nusantara. Bukan hanya itu, dilihat dari segi aspek potensi alam dan hasil buminya yang bernilai jual tinggi, dipandang mampu memberikan kesejahteran bagi masyarakat dan minciptakan ketahanan ekonomi yang menjadi penyokong terbentuknya suatu integrasi bangsa.
            Posisi strategis Bangka Belitung, sebagai satu kawasan bahari yang dilewati oleh kapal-kapal mancanegara, sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai suatu wacana terkait upaya menumbuhkembangkan dan mempererat persatuan bangsa. Berangkat dari sejarah panjang kedua pulau ini, yang memang amat lekat dengan kultur multikulturalismenya, menjadi landasan kuat mengapa pulau-pulau ini tepat untuk dijadikan visi merajut persatuan berbasiskan tradisi serta budaya masyarakatnya.
Terhamparnya ladang timah, dan keberhasilan membudidayakan varietas lada yang laris, baik di pasaran lokal maupun internasional, menjadi realitas lain penyokong suburnya iklim keberagaman budaya disana. Kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi, menjadi kebutuhan vital dalam membangun iklim bermasyarakat yang penuh dengan ketentraman dan keamanan. Kondisi ini, patut untuk dijadikan alternatif contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam upaya mengintegrasikan potensi alam dengan wawasan kesatuan bangsa. 


Tidak bisa dipungkiri, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki keadaan alam, potensi strategis perekonomiaan dan letak geografis yang berbeda. Namun bagitu, hendaklah perbedaan-perbedaan fisik tersebut janganlah dianggap sebagai hambatan utama dalam merajut keterpaduan dalam berbangsa dan bernegara.
            Seperti Soekarno, kawasan Nusantara merupakan ruh terbentuknya suatu kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebutlah yang menjadi titik tolak bagi bangsa Indonesia dalam rangka membahas batas-batas wilayah yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan lain-lain.[17] Hal itulah yang dimaksud dengan integrasi bangsa.

Penutup
Bangka Belitung, merupakan daerah kawasan bahari yang merupakan jalur lintas perdagangan internasional. Dengan berbagai macam keindahan biota lautnya dan kekayaan alamnya seperti timah dan lada, ditambah dengan keanekaragaman masyarakatnya yang majemuk, menambah eksotisme tersendiri dari pulau ini.
Keanekaragaman suku bangsa yang hidup disana selama berabad-abad, menjadikan Bangka Belitung sebagai salah satu provinsi yang berhasil memadukan budaya yang saling berbeda ke dalam kesatuan bangsa, dalam hal ini NKRI. Selain itu, integrasi bangsa yang berhasil dirawatnya, disokong pula oleh kondisi ekonomi yang stabil. Lada dan timah, sejak berabad-abad yang lampau hingga hari ini menjadi komoditas khas yang meningkatkan perekonomian warga.

Realitas historis yang ada di Bangka Belitung berpotensi menjadikannya sebagai salah satu percontohan daerah yang berhasil merawat potensi alam serta sosialnya. Tidak bisa dipungkiri, negeri ini membutuhkan figur daerah yang tepat, sebagai motivator keseriusan merawat budaya keragaman ditunjang dengan perekonomian strategis. Dua unsur tersebut terdapat dalam jati diri Bangka Belitung.

















Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65, (Bandung; Departemen Agama, 1992).
Dhaenuderadjat, Endjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok: Gramata Publishing, 2009).
Marsden, William, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas Bambu, 2008).
Shadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat (Jakarta; Rineka Cipta, 1993).
Supangan, Agus, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Suroyo, Agustina Magdalena Djuliati, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal 9 Februari 2002.
Tangkilisan, Yuda B.,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
Utomo, Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007).
Vlekle, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia, 2008).
On Line
www.kompas.co.id
www.eprints.undip.ac.id.


[1] Penulis adalah mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004) hlm 130.
[3] William Marsden, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas Bambu, 2008) hlm 138-139.
[4] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 159.
www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=23&kategori=info%20Budaya dan www.bangkapos.com.
[6] Bernard H. M. Vlekle, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia,2008) hlm. 137.
[7] Yuda B. Tangkilisan,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
[8] Bambang Budi Utomo, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007) hlm. 94-97.
[9] Hassan Shadily,Sosiologi Untuk Masyarakat (Jakarta;Rineka Cipta,1993) hlm. 205-206.
[10] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 262.
[11] Marsden,Sejarah Sumatra…, hlm. 263.
[12] Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai …,  hlm. 125-126
[13] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
[14] Al-Quran dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65 (Bandung ; DEPAG, 1992), hlm 341.
[15] Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal 9 Februari 2002. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id,Pukul 20.00tanggal 3 Oktober 2013.
[16] Agus Supangan, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003) hlm. 56.
[17] Endjat Dhaenuderadjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok,Gramata Publishing, 2009) hlm 83.

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!