Thursday, 22 May 2014

Ahklak Tasawuf
Konsep Pemikiran Tasawuf


Oleh: Yusuf Yordan 
(1112022000008)



A.Wahdatul Wujud
Salah satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran tentang wihdatul wujud. Pemikiran kontroversi ini dikemukakan oleh ibnu Arabi. Sekaligus ia merupakan pemimpin dan pendiri aliran ini. Aliran yang berdiri pada tahun-tahun pertama abad ke-7 H ini berumur lebih kurang dua abad.
Secara bahasa Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[1] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat di bagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Adapun mengenai maksud kata “wujud” (being, al-wujud) dan perkataan, “Tuhan Adalah Wujud Mutlak” (Allah huwa al-wujud al-haqq), A.E. Affii Menjelaskan bahwa ada dua pengertian yang berbeda dalam memahami istilah “wujud”.Pertama, sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud” eksistensi (wujud bi al-ma’na al-masdari) atau kedua dapat berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsits/wujud bi al-ma’na maujud). Jadi, istilah “Wujud Mutlak” (Al-wujud Al-Mutlaq) atau “wujud universal” (Al-Wujud Al-Kulli). Yang digunakan ibnu Arabi dan murid-muridnya adalah menunjukkan suatu realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada.
Pengertian wahdatul yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, karena dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul di ubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan paham kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir/ luar /tampak), dan al-batin (dalam, tidak tampak).[2] 
Inti ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung pada tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari yang satu (tuhan). Seandainya tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lainpun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Wahdatul Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
B.Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.” Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.
Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[3] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lainnya, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah (Nuktah Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
C. Mahabbah
                Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam . Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd (benci).[4] Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.[5]
            Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .
            Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.[6] Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”.[7]
            Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[8] Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.[9]
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1.    Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.
A. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah.
B. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
C. Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[10]
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah ini.
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
 Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
D. Filsafat Iluminasi
            Selanjutnya konsep Filsafat Iluminasi yang dibangunnya juga merupakan sebuah kritik epistemologis terhadap kaum paripatetik yang selalu mengajukan formula-formula dalam memahami hakikat ketuhanan. Kaum paripatetik selalu menggunakan ‘Ilm al-Hushuli sebagai epistemologinya, sementara itu bagi Suhrawardi epistemology kaum paripatetik tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (ma’qulat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.
Sementara itu untuk melawan epistemology kaum paripatetik, Suhrawardi memperkenalkan epistemology Hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran (observasi rohani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan musyahadat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhuri ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujahadat, riyadhat dan ‘ibadat dari pada memaksimalkan fungsi rasio, atau dengan kata lain ilmuh hudhuri lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.
Konsep epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut Suhrawardi, cahaya adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi lagi karena ia sudah terang dengan sendirinya. Selanjutnya cahaya ini terbagi pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-Aridh yang merupakan cahaya yang tidak mandiri.
Konsep epistemologis inilah yang akhirnya memberikan pengetahuan pada manusia yaitu dengan memaksimalkan oleh dzikirnya agar tetap dekat dengan Tuhan atau Nur al-Anwar dan mendapatkan Iluminasi pengetahuan. Selain itu Suhrawardi menegaskan bahwa disamping ada dasar pengetahuan akan tetapi pengetahuan yang sebenarnya ialah sesuatu yang datang dari dalam dirinya sendiri dalam makna lahir dari pengenalan terhadap dirinya sendiri, hal inilah yang dalam ajaran tasawuf dikenal dengan ma’rifah. Dalam tradisi tasawuf, ma’rifah adalah konsep tertinggi dalam perjalanan manusia yang dalam hal ini juga berarti pengetahuan yang Ilahi. Dari sini cahaya dipancarkan kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya yaitu melalui pengungkapan tabir yang akhirnya terpatri dalam diri manusia dan dengan sadar menghilangkan keragu-raguan.






Daftar Pustaka
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir, Dar al-Kahir, 1978)
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedia Islam, Jambatan, (Jakarta,Juz II, 1992)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir, Dar al-Kairo, 1978)
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)



[1] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.492-494
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.92.
[3] Harun Nasution, dkk., Ensiklopedia Islam, Jambatan, Jakarta,Juz II, 1992, hal 77
[4] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439.
[5] Ibid.
[6] Jamil Shaliba, hlm. 440.
[7] Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth. hlm. 318.
[8] Ibid. Hal. 139
[9] Jamil Shaliba, hlm. 617
[10] Harun Nasution,hlm. 70.

Sunday, 18 May 2014

Makalah Wisata Sejarah
Pembangunan Pariwisata di Indonesia

images.jpeg
Universitas Negeri Islam Jakarta
Syarif Hidayatullah
Fakultas Adab dan Humaniora
Prodi Sejarah Kebudyaan Islam
2014

Oleh;
Yusuf Yordan (1112022000008)




BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan daerah merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang tidak dapat dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah tersebut dibutuhkan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di tiap-tiap daerah tersebut. Sebagai tindak lanjut penyelenggaraan otonomi daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan reformasi dan semangat pembaharuan tentang demokratisasi antara hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah.
Negara Indonesia seperti yang kita ketahui merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai macam potensi pariwisata, baik wisata alam maupun wisata budaya karena Indonesia memiliki bermacam-macam suku, adat-istiadat, dan kebudayaan serta karena letak geografis negara Indonesia sebagai negara tropis yang menghasilkan keindahan alam dan satwa.
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dengan didukung sumber daya alam yang beraneka ragam yang berpotensi untuk diolah dan dimanfaatkan. Selain itu negara Indonesia juga kaya akan seni budaya daerah, adat istiadat, peninggalan sejarah terdahulu dan yang tidak kalah menarik adalah keindahan panorama alamnya yang cukup potensial untuk dikembangkan dengan baik.
Ternyata pariwisata dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional.[1] Banyak juga objek wisata yang ada di Indonesia yang telah terkenal tidak hanya di dalam negeri maupun ke luar negeri. Oleh sebab itu pengembangan pariwisata di Indonesia dilakukan oleh seluruh wilayah di Indonesia maka dibentuklah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di tingkat nasional dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah di tingkat daerah.


Menurut Yoeti, Dinas Pariwisata adalah badan kepariwisataan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai suatu badan yang diberi tanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaan kepariwisataan pada umumnya baik tingkat nasional maupun ditingkat daerah. Potensi wisata Indonesia yang berupa 17.508 pulau-pulau yang terbentang sejauh 5.120 km dengan iklim tropis sejuk baik di darat maupun di pantai dan laut. [2]
Tetapi berdasarkan data statistik Organisasi Pariwisata Dunia dari 1,3 miliar orang wisatawan di dunia hanya 4 juta saja yang berkunjung ke Indonesia sementara sisanya banyak berkunjung ke Malaysia, Thailand, dan negara Eropa. Melihat permasalahan di atas artinya minat para wisatawan untuk berkunjung ke objek wisata Indonesia maupun lokal rendah, karena selama ini pariwisata Indonesia masih kurang maksimal dalam mengembangkannya.
Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia juga memiliki banyak sekali tempat-tempat pariwisata yang bagus dan tidak kalah manarik dengan provinsi yang lain. Kabupaten Nganjuk sebagai salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi wisata cukup banyak dengan prospek ke depan sangat menjanjikan.
 Objek wisata yang dikembangkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk antara lain wisata alam Air Terjun Sedudo, Air Merambat Roro kuning, Taman Rekreasi Anjuk Ladang (TRAL), dan yang terakhir Goa Margo Tresno. Tetapi kurangnya peran dari pemerintah daerah yang belum maksimal dalam mempromosikan wisata tersebut sehingga dimungkinkan potensi-potensi objek wisata tersebut tidak dapat berkembang secara optimal.
Banyak hambatan dan rintangan yang harus dihadapi terutama jika tidak didukung oleh masyarakat sekitar tempat wisata tersebut. Di sinilah pentingnya peraturan dan kesadaran dari pemerintah daerah yang melaksanakan pembangunan di sektor pariwisata. Sektor pariwisata memerlukan suatu strategi yang dengan pola pengembangan kepariwisataan yang terencana atau tersusun agar potensi yang dimiliki bisa dikembangkan secara optimal.
Di dalam memajukan sektor pariwisata di tingkat daerah peran pemerintah daerah sebagai motor penggerak dan selanjutnya memberikan kewenangan penuh kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk dalam menentukan strategi-strategi pemban-gunan kepariwisataan.
Dari uraian di atas, penelitian ini ingin mengetahui strategi yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk dalam melakukan pengembangan pariwisata di daerah serta faktor-faktor pendukung dan penghambat di dalam pengembangan objek wisata tersebut
BAB II
ISI

1. Konsep Pariwisata
Pengertian pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bersifat sementara, dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan ilmu. Selanjutnya menurut Musanef  mengartikan pariwisata sebagai suatu perjalanan yang dilaksanakan untuk sementara waktu, yang dilakukan dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menikmati perjalanan bertamasya dan berekreasi.
Menurut Yoeti pariwisata harus memenuhi 4 kriteria yaitu:

1) perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain, perjalanan dilakukan di luar tempat kediaman di mana orang itu biasanya tinggal;
2) tujuan perjalanan dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang, tanpa mencari nafkah di negara, kota atau DTW yang dikunjungi.
3) uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya, di mana dia bisa tinggal atau berdiam, dan bukan diperoleh karena hasil usaha selama dalam perjalanan wisata yang dilakukan; dan
4) perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih.
Dalam pengertian kepariwisataan terdapat 4 faktor yang harus ada dalam batasan suatu definisi pariwisata. Faktor-faktor tersebut adalah perjalanan itu dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, perjalanan itu harus dikaitkan dengan orang-orang yang melakukan perjalanan wisata semata-mata sebagai pengunjung tempat wisata tersebut.

2. Strategi Pengembangan Pariwisata
Strategi pada prinsipnya berkaitan dengan persoalan: Kebijakan pelaksanaan, penentuan tujuan yang hendak dicapai, dan penentuan cara-cara atau metode penggunaan sarana-prasarana. Strategi selalu berkaitan dengan 3 hal yaitu tujuan, sarana, dan cara. Oleh karena itu, strategi juga harus didukung oleh kemampuan untuk mengantisipasi kesempatan yang ada. Dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dalam pengembangan pariwisata daerah, pemerintah daerah harus melakukan berbagai upaya dalam pengembangan sarana dan prasarana pariwisata.
Strategi perkembangan pariwisata yang menunjang pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Perlu ditetapkan beberapa peraturan yang berpihak pada peningkatan mutu pelayanan pariwisata dan kelestarian lingkungan wisata, bukan berpihak pada kepentingan pihak-pihak tertentu.
2.      Pengelola pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat. Hal ini merupakan hal penting karena sebagai hal pengalaman pada beberapa daerah tujuan wisata, apabila tidak melibatkan masyarakat setempat, akibatnya tidak ada sumbangsih ekonomi yang diperoleh masyarakat sekitar.
3.      Kegiatan promosi harus beraneka ragam, selain dengan mencanangkan cara kampanye dan program Visit Indonesia Year seperti yang sudah dilakukan sebelumnya. Kegiatan promosi juga perlu dilakukan dengan membentuk system informasi yang handal dan membangun kerjasama yang baik dengan pusat informasi pada Negara – Negara lain terutama pada Negara yang berpotensi.
4.      Perlu menentukan daerah tujuan wisata yang memiliki keunikan disbanding dengan daerah tujuan wisata lain, terutama yang bersifat tradisional dan alama. Karena era kekinian lah objek wisata yang alami dan tradisional yang menjadi sasaran wisatawan asing. Daerah ini masih banyak ditemukan didaerah luar jawa seperti daerah pedaleman papua atau Kalimantan.
5.      Pemerintah pusat membangun kerjasama dengan kalangan swasta dan pemerintah daerah setempat, dengan system terbuka, jujur dan adil. Kerja sama ini penting karena untuk mempelancar pengelolah secara professional dengan mutu pelayanan yang memadai.
6.      Perlu dilakukan pemerataan arus wisatawan bagi semua daerah tujuan wisata yang ada diseluruh Indonesia.
7.      Mengajak masyarakat sekitar daerah tujuan wisata agar menyadari peran, fungsi dan manfaat pariwisata serta merangsang mereka untuk memanfaatkan peluang - peluang yang tercipta bagi berbagai kegiatan yang dapat menguntungkan secara ekonomi.
8.      Sarana dan prasarana yang dibutuhkan perlu dipersiapkan secara baik untuk menunjang kelancaran pariwisata. misalnya dengan pengadaan perbaikan jalan, telepon, internet dan pusat pembelanjaan disekitar lokasi daerah wisata.[3]
Dengan memperhatikan beberapa masukan ini kiranya dapat membantu bagi penyelenggara pariwisata yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Factor baik internal dan eksternal, pariwisata dapat menghasilkan pendapat yang luar biasa bagi suatu daerah terutama apabila dikelolah dengan baik.

3. Faktor Pendorong Perkembangan Pariwisata Di Indonesia
          Dewasa ini maupun pada masa yang akan datang, kebutuhan untuk berwisata akan meningkat khususnya di Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia maupun dunia. Serta perkembangan penduduk Indonesia yang semakin membutuhkan Refresing akibat semakin tingginya kesibukan kerja. Menutut Fandeli (1995), factor yang mendorong manusia untuk berwisata ialah:
1.      Keinginan untuk melepas diri dari tekanan hidup sehari-hari di kota, keinginan untuk mencari suasanya baru untuk mengisi waktu lenggang.
2.      Kemajuan pembangunan dalam bidang komunikasi dan transpormasi.
3.      Keinginan untuk melihat dan memperoleh pengalaman baru mengenai budaya masyarakat dan di tempat lainnya.
4.      Meningkatnya pendapat yang dapat memungkinkan seseorang dapat dengan bebas melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggalnya.[4]
Faktor – faktor pendorong perkembangan pariwisata di Indonesia menurut Spilane (1987) adalah:
1.      Berkurangnnya peranan minyak bumi sebagai sumber devisa Negara jika dibandingkan dengan waktu lalu;
2.      Merosotnya nilai ekspor pada sector nonmigas;
3.      Adanya kecendrungan peningkatan pariwisata secara konsisten
4.      Besarnya potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bagi pengembangan pariwisata[5]
Ini semua memperlihatkan bahwa situasi dan kondisi sosial-ekonomi di Indonesia semakin berkurangnya lahan pertanian dan lapangan kerja lainnya serta semakin rusaknya lingkungan akibat kegiatan industri manufaktur dan kegiatan ekonomi lainnya yang mengeksploitasi sumber daya alam.
Maka pariwisata perlu dikembangkan sebagai salah satu pemasukan bagi divisit Negara dan menjadi sumber industri andalan. Sektor pariwisata selain dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga dapat merusak lingkungan bahkan sebaliknya merangsang pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat dimaklumi karena perkembangan pariwisata tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup sebagai salah satu sarana atau objek wisata.
















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
            Keterbatasan Indonesia untuk meningkatkan penerimaan devisa menjadikan pariwisata sebagai salah satu sector penting atau andalan untuk sebagai sumber pendapatan Negara. Namun besar kecilnya pendapatan yang diterima dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Pariwisata juga dapat menghasilkan pendapatan yang luar biasa bagi setiap daerah apabila mereka bisa mengelolahnya dengan baik dan benar. Tetapi pengelolahan yang baik tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan awal tanpa adanya dukungan yang melatar belakangi pengelola tersebut.
            Berdasarkan potensi, peluang, tantangan dan strategis yang perlu diperhatikan dalam perkembangan pariwisata di Indonesia ialah, bahwa peluang tercipta pengembangan daerah tempat wisata yang masih tradisional dan alama perlu di manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sementara pelbagai kendala dan tantangan yang ada terutama masalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan gangguan keamanan yang sering timbul, perlu disiasati dengan pelbagai strategi agar kendala dan tantangan tidak menghambat perkembangan pariwisata di Indonesia. Serta jaminan perlindungan terhadap para wisatawan sehingga para wisatawan tidak menimbulkan kekhawatiran untuk mengunjungi daerah wisata yang ada di Indonesia.
           








Daftar Pustaka
Pendit, Ny. S, Ilmu Pariwisata sebuah pengantar perdana, (Jakarta, PT Pandnya Paramita, 1990)
Oka A. Yoeti ,Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1997.)
Spilene, JJ, Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, (Yogyakarta; Kanisius, 1987)
Www.Kompas.com, Tahun ini Banyak Turis Asing “Buang Uang” di Indonesia, Kompas 29 Desember
   2011



[1] Oka A. Yoeti ,Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1997.)hlm 4
[2] Ibid, Oka A. Yoeti. hlm 286
[3] Pendit, Ny. S, Ilmu Pariwisata sebuah pengantar perdana, (Jakarta, PT Pandnya Paramita, 1990) hlm. 35-36
[4] Www.Kompas.com, Tahun ini Banyak Turis Asing “Buang Uang” di Indonesia, Kompas 29 Desember 2011.pkl 20:40 WIB Tgl 3 Mei 2014
[5] Spilene, JJ., Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, (Yogyakarta; Kanisius, 1987) hlm.45
MAKALAH INI UNTUK MEMENUHI TUGAS  SEJARAH INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
IBU IMAS AMELIA
images.jpeg
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
IMAM MAULANA (1112022000002)
YUSUF YORDAN (1112022000008)


Pengantar
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, namun khususnya dalam kancah politik nasional, selalu mengalami kekalahan dan tidak pernah memegang kendali pemerintahan. Sejarah membuktikan, bahwa sejak menjelang Indonesia merdeka, umat Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Yang menyakitkan lagi, “Piagam Jakarta” yang telah disepakati, dan di dalamnya ada tujuh kata kunci bagi umat Islam untuk dapat menjalankan syari‟at Islam di Indonesia baru satu hari setelah kemerdekaan diganti kembali.
 Perjuangan umat Islam tidak berhenti sampai di sana. Bagi para tokoh militan Islam yang tidak puas dengan Pancasila sebagai dasar negara dan digantinya Piagam Jakarta itu, mereka akhirnya mendeklarasikan sebuah Negara Islam Indonesia (NII). Namun, gerakan ini akhirnya dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Di era Orde reformasi umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, khususnya dalam masalah politik. Umat Islam dalam mengadakan gerakan tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era orde baru, sehingga bermunculanlah partai-partai Islam dan gagasan-gagasan untuk menerapkan syari‟at Islam di Indonesia. Semua itu, tiada lain merupakan salah satu wujud politik umat Islam di era Orde Reformasi.
Guna mempermudah pembahasan penulis akan menjelaskan pergerakan politik Islam pada zaman reformasi;









A.Politik Islam Orde Reformasi
Proses reformasi di Indonesia terjadi pada tahun 1998 diawali dengan lengsernya Soeharto. Kemudian digantikan oleh Presiden B.J. Habibi. Di era Reformasi banyak partai-partai Islam yang muncul diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun partai-partai Islam ini tidak merai suara terbesar, namun koalisi mereka melalui kaukus Poros Tengah dapat menghalangi tampilnya aliran dan kelompok Politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden.[1]
Pasca kepemimpinan Soeharto, nampaknya era reformasi merupakan momentum yang sangat tepat untuk melahirkan ide, gagasan ataupun ekspresi dari masing-masing organisasi Islam maupun dari partai Islam. Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi sebelumnya.
Era reformasi merupakan era keterbukaan yang memungkinkan orang untuk mengekspresikan pikiran termasuk cara keberagaamaan. contoh misalnya; lahirnya Front Pembela Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Forum Komunikasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing organisasi Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang menarik, gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa dengan seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri.
Selain sangat kental dengan simbol, gerakannya yang lebih mengandalkan unjuk kekuatan dalam melawan sesuatu di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya banyak orang dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan agama dengan kata lain jihad. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid.
Pemerintah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak inilah Islam Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa gerakan yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf lebih sering didengar masyarakat daripada kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam.
Selain itu jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Tercatat sejumlah partai politik Islam yang saat ini (atau pernah) berada pada peringkat 10 besar partai politik di Indonesia memiliki sejarah kelahiran pada kurun waktu 1998-1999. Beberapa contoh diantaranya adalah PBB, PPP, PKS, PAN, dan PKB.
Secara umum, parta-partai politik Islam pasca reformasi memiliki dua aliran berbeda yang saling bertentangan. Aliran yang pertama menganut bahwa syariah Islam harus diterapkan dalam sistem pemerintahan. Partai-partai besar yang menganut aliran ini adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan aliran kedua menolak pengimplementasian syariah Islam dalam sistem pemerintahan. Aliran ini dianut oleh dua partai Islam yang cukup besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).[2]
Andreas Ufen menyebutkan bahwa politik aliran telah menghilang setelah reformasi. Hal ini ditandai dengan tergerusnya struktur ideologi partai.[3] Menurut Sukma dan Joewono, partai Islam kini dapat dibagi berdasarkan sikapnya terhadap relasi Islam-negara ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menginginkan agar hukum Islam diterapkan di dalam negara. Kelompok ini terdiri dari PBB, PKS dan PPP. Sedangkan kelompok kedua menginginkan agar negara tidak menganut hukum Islam. Kelompok ini terdiri dari PAN dan PKB.
Keadaan ini juga mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti kampanye pemilu 1999 ada beberapa Ulama NU yang membela partai PKB.
Selain Ulama-Ulama NU atau Nadhatul Ulama, ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah,sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para mahasiswa dan halqah kampus turut mendirikan partai Islam, yaitu Partai Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus Timur Tengah. Belakangan, dua partai, PKB dan PAN menyatakan diri sebagai partai yang berasaskan Pancasila dan bersifat nasionalis, tetapi basisnya adalah massa Islam.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain.[4]
B.Perkembangan Partai Politik Islam Era Reformasi
Berkembangnya partai Islam pasca-reformasi barangkali berkaitan dengan argumen Hefner (1993) bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik besar. Menurut Jamhari, hal ini diindikasikan dengan lahirnya kelas menengah Islam yang menyediakan kepemimpinan nasional sekaligus massa untuk mendemonstrasi Suharto. Generasi ini lahir sebagai akibat dari hubungan baik Islam-negara di pengujung kepemimpinan Suharto. Berikut adalah beberapa partai Islam yang berkembang pada awal reformasi, diantaranya;
1. PBB
Partai yang berdiri pada 17 juli 1998 ini dikenal sebagai pendukung utama penerapan syariah Islam dalam pemerintahan Indonesia. PBB menggunakan landasan Al-Quran dan Al-Hadits dengan ide utama Modernisme Islam, yaitu pemikiran bahwa Islam adalah doktrin universal yang dapat menyelesaikan segala permasalahan. PBB berkeinginan menyatukan kalangan muslim dan kalangan lainnya utk mengimplementasikan aspirasi lewat program-program PBB agar tercipta kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam isu politik, PBB mendorong amandemen UUD 1945 untuk mencegah pemerintahan yang otoriter, mendukung  pemilihan umum presiden secara langsung, dan mendukung pembatasan masa jabatan presiden.[5] PBB memiliki basis massa yang berasal dari para simpatisan Masyumi, dan golongan pendukung Islam konservatif. Pada pemilu 1999, PBB meraih 2,81% suara, pada pemilu 2004 dan 2009 mengalami penurunan menjadi 2,62% dan 2%.
2. PKS
PKS terbentuk pada 20 Juli 1998 dengan berlandaskan Al-Quran dan Sunnah. Meskipun Islam adalah asas partai, tapi PKS mengakui prularisme dan multikulturalisme. PKS menggunakan prisnsip khalifah, yaitu prinsip bahwa manusia adalah pemimpin di muka bumi dalam hal agama dan politik. Dalam isu pemerintahan, salah satu agenda utamanya adalah menempatkan ulama, intelektual, dan aparat pemerintahan dalam suatu sistem institusi sehingga ketiganya dapat saling bekerjasama. Dalam isu politik, PKS menekankan pertanggungjawaban dalam kepemimpinan. Dalam isu pendidikan, program PKS memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama dalam seluruh aspek kehidupan.             Basis massa PKS adalah pemuda muslim, santri, dan intelektual muda dari universitas. Pada pemilu 1999 PKS berhasil mendulang suara sebanyak 1,36%, pemilu 2004 sebanyak 7,34%, dan pemilu 2009 sebanyak 7,88%.
3. PPP
Meskipun PPP telah terbentuk sebelum reformasi, PPP pasca reformasi adalah PPP dengan esensi yang berbeda. Unsur intervensi pemerintah dihapuskan oleh PPP pasca reformasi, salah satunya ditandai dengan kembalinya lambang bergambar Ka’bah sebagai lambang partai. PPP berlandaskan agama, kemanusiaan, keadilan sosial, kebenaran, dan kejujuran. Tujuan utama PPP adalah mewujudkan masyarakat makmur secara material maupun spiritual, dan menjunjung multikulturalisme[45]. PPP memiliki program reformasi internal partai dan pemerintahan. Dalam isu reformasi internal partai, PPP ingin kembali ke prinsip awalnya, yaitu menjalankan negara dengan nilai akhlakul karimah. Dalam isu reformasi negara, PPP menginginkan perbaikan dalam angkatan bersenjata, DPR, dan presiden. Dalam isu hukum, PPP ingin membenahi konstitusi yang saling berkontradiksi dengan UUD & Pancasila. Dalam isu politik, PPP menginginkan adanya budaya politik yang baik dan pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif. Dalam isu ekonomi, PPP berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap masyarakat, menyediakan lapangan kerja, menggalakan proyek pembangunan, dan menghapuskan KKN. PPP di era reformasi memiliki perbedaan tentang basis massa, yaitu tidak lagi beranggotakan NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Pada pemilu 1999, PPP berhasil memperoleh 12,26% suara (58 kursi), pemilu 2004 memperoleh 10,4% suara dan pemilu 2009 5,32% suara.[6]
4. PKB
PKB terbentuk pada 23 Juli 1998. PKB menjunjung prinsip keagamaan, humanisme, demokrasi, nasionalisme, dan kedaulatan rakyat. Dukungan PKB terhadap demokrasi tercermin dalam figur pemimpin PKB, yaitu Abdurrahman Wahid. Dalam isu politik, PKB berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas KKN. PKB juga mendukung kebebasan berkumpul dan berserikat, mendukung konsep negara berlandaskan hukum (resctaat), dan mendukung persamaan gender. PKB memiliki basis massa dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1999 PKB berhasil membuat poros oposisi untuk menyaingi kekuatan PDIP dan Golkar sehingga dapat menghantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Pada pemilu 1999 PKB berhasil mendulan suara sebanyak 11%, pada pemilu 2004 sebanyak 9,4% dan pada pemilu 2009 sebanyak 4,94%.
5. PAN
PAN terbentuk pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 dengan tokoh lintas agama sebagai pemimpinnya, beberapa diantaranya adalah Amien Rais (ketua), Th. Sumartana (non-muslim), dan K. Shindunata (non-muslim). PAN mengusung program yang anti terhadap sektarianisme dan anti diskriminasi. Dalam isu ekonomi PAN berkomitmen untuk melawan monopoli ekonomi, menerapkan kebijaan pro-rakyat miskin, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan kesejateraan sosial. Dalam isu politik PAN mendukung adanya pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. PAN juga mendorong demokrasi, reformasi, rekonstruksi, desentralisasi, memberantas KKN, dan kebebasan pers. Sepertiga massa PAN berasal dari organisasi Islam Muhammadiyah, sisanya terdiri dari para intelektual dan masyarakat dari berbagai agama. Pada pemilu 1999 PAN memperoleh suara sebanyak 7,4% yang disertai pengangkatan Amien Rais sebagai ketua MPR, pemilu 2004 sebanyak 9,8%, dan pemilu 2009 sebanyak 6,01%.[7]


Penutup

Pada masa pemerintahan orde baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan dikendalikan oleh orang-orang nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai, yaitu wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di bawah kendali pemerintah Orde Baru.
Setelah pemerintahan orde baru runtuh dan digantikan dengan pemerintahan reformasi yang lebih demokratis, perlahan-lahan partai Islam mulai sedikit menuikan hasil mulai dari pemerintahannya serta perkembangannya, walaupun dalam kancah perpolitikan nasional partai Islam selalu mengalami kekalahan dan tidak pernah memegang kendali pemerintahan.

























Daftar Pustaka
A. Ufen, “From Aliran to Dealignment: Political Parties in Post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, 16, 1
H. Asyari, Dkk. 2005.  Pengantar Study Islam. IAIN Sunan Ampel Press
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,)
R. Sukma & C. Joewono (ed.), Islamic Thought and Movements in Contemporary Indonesia, Centre for Strategic and International Studies, 2007



[1] H. Asyari, Dkk. 2005.  Pengantar Study Islam. IAIN Sunan Ampel Press. Hal. 295-296
[2] R. Sukma & C. Joewono (ed.), Islamic Thought and Movements in Contemporary Indonesia, Centre for Strategic and International Studies, 2007, hal 148-152.
[3] A. Ufen, “From Aliran to Dealignment: Political Parties in Post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, 16, 1.hlm 6.
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,). Hlm.89-91
[5] Ibid, hlm 152-154.
[6]  Ibid, hlm 162-163.
[7] Ibid, hlm 167-168.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!