Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Arkeologi
Kerajaan dan Kesultanan Palembang
Yusuf Yordan
(1112022000008)
Fakultas Adab dan Humaniora
Prodi Sejarah Kebudayaan Islam
Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah
kerajaan di Indonesia dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan
prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Mulai dari kerajaan samudra pasai
dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya, banyak sekali mengalami pasang surut
dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau
tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya yang
paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti atau kerajaan -
kerajaan Islam yang telah menjadi karakteristik Negara Indonesia selama
berabad-abad. Realita kerajaan – kerajaan tersebut telah membangun dan
membentuk kesatuan didalamnya.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan
sejarah kerjaaan Indonesia adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti
kerajaan Palembang yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi.
Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar
pemerintahan itu sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu
menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk
pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya
dinasti-dinasti Palembang pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan
mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan kerajaan Palembang atau kesultanan
Palembang terjadi dalam abad ke–17M dan ke-8M sampai dengan awal abad ke-19M
Tempatnya adalah dikota Palempang dan sekitarnya. Mulai dari mengenai sejarah
berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab
kemunduran dan keruntuhan kerajaan Palembang.
Isi
A.
Latar
belakang berdirinya kerajaan Palembang
Sejarah
kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan
ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19 M. Tempatnya adalah di kota Palempang dan
sekitarnya, baik disebelah sungai Musi maupun di hulu dan anak-anaknya, yang
dikenal dengan Batanghan Sembilan. Letaknya tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90
KM) vang bermuara di selat Bangka.
Kota
Palembang semula termasuk wilavah kerajaan Budha Sriwijaya yang berkuasa dari
tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai waktu berakhirnya
kerjaan Sriwijaya bermacam-macam, yang pasti setelah runtuhnya kerajaan ini
mengalami kekosongan kekuasaan, dan menjadi taklukan kerajaan Majapahit pada
pertengahan abad ke-15 sampai tahun 1527 M.
Salah
seorang adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Aryo Damar
(1455-1478), putra dari Prabu Brawijaya (1447-1451) Aryo Damar kawin dengan
putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn Kertabumi (1474-1478) dengan membawaanak
Raden Fatah vang lahir di Palembang dan dibesarkan oleh ayah tirinva yakni Aryo
Damar (1455). Kemudian ia menjadi pendiri kerajaan Demak pada tahun 1478.[1]
Setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit Palembang menjadi daerah pelindung (protektorat)
dari kerajaan Demak-Pajang dan Mataram di Jawa. Semula hubungan ini berjalan
baik dan teratur, namun perkembangan keadaan membawa perubahan, khususnya
semasa kerajaan Mataram.
Dalam
sejarah kerajaan Mataram nampak sekali, bahwa hunbungan antara pusat dan daerah
tidak selalu berjalan dengan baik, sebagai mana pengalaman penguasa-penguasa
Palembang pra kesultanan, yang mendapat perlakuan tidak menenangkan dalam
hubungannya dengan kerajaan Mataram, begitu juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario
Kesumo Abdirronim sesudah menggantikan kedudukan kakaknya.
Pangeran
Sedo Ing Rajek sebagai penguasa Mataram di Palembang mengalami hal yang sama,
dimana beliau pada tahun 1668 mengirim urusan ke Mataram, tetapi ditolak oleh
Amangkurat I. Dengan adanya hal ini maka beliau memelaskan ïkatan dengan
Mataram. Maka menjadilah Palembang berdiri sendiri sebagai kesultanan Palembang
Darussalam.[2]
Kapan
hal ini mulai terjadi, tidak didapatkan keterangan-keterangan yang pasti.
Disebutkan oleh P. Deroo Defaille dalam bukunya Dari Zaman Kesultanan Palembang
sebagai berikut: Pangeran Ratu dalam tahun 1675 memakai gelar Sultan dan dalam
tahun 1681 namanya Sultan Djamaluddin dan temyata orangnya sama dengan Sultan Ratu
Abdurrahman dari tahun1690 yang dalam cerita terkenal dengan Sunan Tjadebalang,
yang sebetulnya Tjandiwalang.
B.
Masa
Kejayaan Kerajaan Palembang
Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak
ada habis-habisnya. Kali ini saya akan membahas mengenai masa-masa keemasan
kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad ke-18 telah menuju ke
hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin H. Ia
menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan berkembang pesat dan
timah telah memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak pemakaian tanah
diserahkan kepada marga dengan menghormati batas-batas antara marga yang telah
ditetapkan.
keputusan
hukuman dalam kesultanan Palembang terletak ditangan raja atau
pembesar-pembesar kerajaan. Jika terjadi perselisihan diantara marga raja dapat
bertindak sebagai penengah, demikian juga dalam perselisihan masalah tanah.
Raja berhak menerima jasa-jasa dari penduduknya. Selain pajak, pendapatan lain
kesultanan adalah "dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli
primitif yang tidak berdasarkan pengertian melayu.
Dalam sistem ini raja atau pembesar pembesar
kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga vang murah dan harga pasar.
Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan vang
terpenting adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul
dalam setahun. Keuntungan dari hasil jual beli inilah yang dipergunakan oleh
sultan untuk membangun kembali keraton.
C.
Pemerintah,
Ekonomi dan Politik
1. Pemerintahan
Wilayah
kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan
Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput
Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat
pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan
dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan
pengganti.
2. Ekonomi
Perekonomian
kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh
perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa,
Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari
pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan.
Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
3. Politik
Politik
yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +/- 50 tahun, membuktikan telah
berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan
keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga
hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada
satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten vang
berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan
di selat Malaka.[3]
Prestasi
politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling
menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah
kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat)
Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan.
Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat
tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme
Eropa (Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan
politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan
akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik
imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan "Belanda minta
tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera.
D.
Peran
Ulama di Kesultanan atau kerajaan Palembang
Sejarah penyebaran agama Islam di
kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru
mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo
Abdurrahman (1659-1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib
Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin
mengajarkan ilmu Al-Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada
periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan
dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung
(1714-1724) juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758)
sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan
Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum muslimin pada
tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal
dengan nama Masjid Agung.
Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad
Najamuddin Adikesumo (1758-1776) lahir di Palembang seorang ulama besar yang
bernama Syekh Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam
pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi
internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke
Palembang dengan membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah
Methode baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah
sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.
Mangkunegara di Susuhunan Prabu Djaka
di Surakarta. Surat-surat yang dikirim kepada penguasa formal tradisional,
tidak hanya berisikan soal-soal ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang
menyangkut politik dalam kaitannva dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian
ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk
membangkitkan kembali rasa patriotisme dalam menentang penjajah.[4]
Terlepas pada suatu pemikiran apakah
beliau termasuk golongan tasawuf Al-Ghozali atau Wahdatul wujud yang pernah
diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri
yang bernama Sair al-Salikin dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih
banvak dibaca di negara-negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai,
Malaysia, Thailand Selatan, Singapura dan Indonesia. Begitu penting dan
terhormatnya kedudukan ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama mendapat
tempat tersendiri disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi
makam-makam para sultan Palembang disampingnya terlihat makam ulama-ulama
beserta permaisuri.[5]
E.
Masa
Kemunduran Kerajaan Palembang
Setelah meninggalnya Sultan Badaruddin
pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh
putranya Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah
secara despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam
diplomasi atau strategi perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang
diantaranya pada bidang sastra.
Dengan
kemerosotan VOC pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di Palembang tidak
dapat dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir lenyap. Krisis
ekonomi dan politik yang dihadapi VOC dan kemudian pemerintah Belanda
mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris dan akhirnya Palembang jatuh
ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April 1812.
Pimpinan pertahanan kerajaan ada
ditangan Pangeran Adipati Ahmad Najamuddi. seorang saudara sultan yang tidak
menunjukkan loyalitasnya kepada kakaknya. bahkan bersedia berunding dengan
Inggris pada tanggal 17 Mei 1812 yang menentukan bahwa PA. Ahmad Najamuddin
menjadi sultan Palembang dengan syarat Palembang harus menyerahkan Bangka dan
Belitung kepada Inggris. Sementara itu Sultan Badaruddin membangun pertahanan
yang kuat di hulu sungai Musi, bermula di Buaya Langu setelah serangan
ekspedisi Inggris gagal terhadap kubu tersebut, maka pertahanan dipindahkan
lebih kehulu lagi yaitu di Muara Rawas.
Setelah dengan aksi militer Inggris
mengalami kegagalan maka ditempuhnya jalan diplomasi dan mengirim Robinsin
untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812 ditandatangani perjanjian yang
menetapkan bahwa sultan Badaruddin diakui sebagai sultan Palembang dan PA.
Ahmad Najamuddin diturunkan dari tahtanya.
Pada tanggal 15 Juli sultan
Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di keraton besar sedang PA. Ahmad
Najamuddin pindah kekeraton lama. Terangnya pemainan politik Inggris semakin
mengurangi kekuasaan sultan dan kondisi kontrak lebih diperberat. Waktu Belanda
menerima kembali daerah jajahannya dari Inggris, politik langsung membalik
situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris.
Sultan Ahmad Najamuddin adalah
penguasa yang lemah berbeda dengan Sultan Baharudin yang kala itu sedang
menguasai politik. Eksploitasi feodalistis dikalangan keluarga sultan
merajalela, banvak perampokan dalam kekosongan kekuasaan didaerah, dan akhir
situasi minp dengan anarki.
Mununghe selaku kuasa usaha Belanda
bertekad menanam kekuasaan yang kuat di Palembang maka untuk tujuan itu
disodorkan kontrak dengan kedua tokoh tersebut (20-24 Juni 1818). Meski
kesultanan tidak dihapus, namun kekuasaan sultan lambat laun semakin berkurang.
Sultan Palembang dan saudaranya untuk kedua kalinya diturunkan dari tahtanya.
Keduanya mendapat daerah kekuasaanuntuk diambil hasilnya sebagai sarana
penghidupannya, sedang sebagian besar daerah Palembang dikuasai Belanda.
Najamuddin yang dibelakangkan oleh
intervensi Belanda, berusaha memperoleh bantuan Inggris. Usaha Raffles untuk
memberi bantuan yang diharapkan itu gagal, dan akhirnya ia sebagai faktor yang
membahayakan pemerintahan Belanda diamankan di Batavia. Sementara didaerah
pedalaman bergolak terus, antara lain karena tercipta vakum politik dan ruang
sosial yang leluasa bagi unsur-unsur bawah tanah untuk beragitasi. Orang-orang
minangkabau dan Melayu yang menjadi pengikut Sultan Badaruddin sewaktu dia
mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap expedisi Belanda
yang terpaksa kembali ke Palembang tanpa dapat mengamankan daerah hulu.
Ada kecurigaan pada Muntinghe bahwa
sultan Badaruddin ada dibelakang pergolakan di hulu sungai Musi. Beliau
dituntut agar meredakan para pemberontakan, lagi pula putra mahkota agar
diserahkan untuk dipindah ke Batavia. Kegentingan memuncak waktu perundingan
antara Muntinghe dan sultan menemui jalan buntu. Sultan menolak untuk
menyerahkan putra mahkota pada tanggal 12 Juni 1819, kapal-kapal VOC ditembaki
hingga Muntighe meninggalkan Palembang menuju ke Muntok.
Pergolakan menjalar ke Bangka,
Lingga dan Riau, dimana aksiaksi perlawanan terhadap Belanda Terjadi,
kesemuanya karena mendapat angin dari Palembang yang berhasil mengenyahkan
Belanda. Sultan Badaruddin sebagai ahli strategis tetap waspada dan membangun
pertahanan kuat di sepanjang sungai Musi dan Muara sampai Palembang.
Sebelum mengirim ekspedisi, Belanda
mengangkat putra Ahmad Najamuddin, yaitu Prabu Anom sebagai sultan dengan gelar
Ahmad Najamuddin. Ekspedisi mulai menyerang pertahanan di Plaju pada tanggal 20
Juni 1821, tetapi dipukul mundur oleh pasukan Palembang. Baru pada serangan
kedua pada malam 24 Juni Plaju dapat direbut, dan Palembang dapat terbuka bagi
angkatan perang Belanda.
Dalam menghadapi situasi itu,
sultan Badaruddin mencoba berunding dan tidak lagi melakukan perlawanan.
Tanggal 1 Juni keraton diduduki Belanda, kemudian baik kekuasaan sipil maupun
militer ada ditangan Belanda dan pada tanggal 12 Juli Residen Overste Keer
secara resmi memegang jabatannya dan empat hari kemudian sultan Ahmad
Najamuddin dinobatkan.
Pemberontakan dibawah P.
Abdurrahman dan Jayaningrat pada tanggal 22 November 1821 yang gagal memberi
alasan kepada Belanda untuk menamatkan kesultanan Palembang. Susuhunan (ayah
sultan Ahmad) diamankan ke Batavia sedang sultan mengungsi ke hulu sungai Musi
untuk meneruskan perlaw anannya. Setelah bertahan selama delapan bulan ia pun
ditawan dan diasingkan di Manado dimana ia meninggal pada tahun 1844. Dengan
demikian berakhirlah dinasti Palembang yang berkuasa selam beberapa abad itu.[6]
Kesimpulan
Jika kita tarik benang merahnya dari
Kerajaan atau kesultanan Palembang merupakan kerajaan yang cukup tua dan sudah
tidak asing lagi bagi kita. Karena kerajaan Palembang juga merupakan salah satu
kerajaan maritime terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara pada abad ke
7-15M.
Bukan hanya itu bahkan kerajaan
Palembang juga sempat mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan
Badaruddin karena sikapnya yang bijaksana dan dapat mengelola hasil kerajaan
seperti timah dengan bijak. Sampai masa keruntuhan kerajaan Palembang setelah
sepeninggalan Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27
tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin.
Walaupun
putra dari Sultan Badaruddin memiliki kepribadian yang kuat, berbakat serta
terampil dalam diplomasi atau strategi perang tetapi kehancuran dari kerajaan
atau kesultanan Palembang tidak bisa dihelakkan walaupun dari ada beberapa
factor yang mendukung hancurnya kerajaan Palembang.
Daftar Pustaka
·
Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan.
·
Marwati Djuned. Sejarah Xasional
Indonesia. jilid IV
·
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam
Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)
[1] Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan
Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera,
1995) hlm. 45
[2] Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV
[3] Ibid, Kerajaan Islam
Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 47
[4] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara
Adab XVI & XVII, hlm. 49
[5] Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan
hlm. 212.
[6] Ibid, Kerajaan Islam
Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 51
0 comments:
Post a Comment