Oleh: Yusuf Yordan
Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah Islam
dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap
kemajuan didalamnya. Dimulai dari masa Rosulullah SAW, shahabat, Dinasti
Umayah, Dinasti Abbasiyah dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya Islam,
banyak sekali mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau
Islam tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya
yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti Islam yang
telah menjadi karakteristik Islam selama berabad-abad. Realita dinasti-dinasti
Islam telah membangun dan membentuk kesatuan Islam.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan
sejarah peradaban Islam adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti Islam yang
pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi. Hal ini terjadi akibat
banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan Islam
sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu
pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan
pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya
dinasti-dinasti Islam pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba
untuk mengulas sebuah pemerintahan dinasti mamluk atau mamalik yang telah
berlangsung antara tahun 648 H / 1250 M hingga 922 H / 1517 M. Mulai dari mengenai
sejarah berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab
kemunduran dan keruntuhan dinasti mamalik di Mesir.
A. SEJARAH MUNCULNYA
DINASTI MAMALIK/MAMLUK DI MESIR
Kata
Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar
manjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak
yang merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan ‘abd yang berarti
hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba
dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan
‘abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba
yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayub. Mamluk
Dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia
Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku Bangsa Turki, Syracuse,
Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk sultan yang
berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk
para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia.
Dinasti Mamluk atau Mamalik adalah sebuah dinasti atau
pemerintahan yang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah
orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayubiyah sebagai budak, yang
kemudian di didik dan dijadikan tentara, dan mereka ditempatkan di tempat yang
tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Penguasa Ayubiyah yang terakhir,
yaitu al Malik al Saleh, yang menjadikan budak sebagai pengawalnya untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa itu
pun mereka (Kaum
budak) mendapatkan hak yang menjaminkan, baik dalam ketentaraan maupun dalam
imbalan-imbaan meteril.[1]
Ketika
al-Malik al-Salih meninggal (1249 M). Anaknya yang bernama Turansyah, naik
tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih
dekat kepada tentara asal Kurdi dari pada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di
bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah anak dari al-Malik
al-Salih. Lalu istri dari al-Malik al-Salih yang bernama Syajarah al-Durr,
seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali
pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.
Dibawah
kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian
mempersunting seorang tokoh terkemuka Mamalik yang bernama Aybak dan
menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa
di belakang tabir.
Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh
Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya,
Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai
Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai
penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini
merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti
Mamalik.[2]
B. PEMERINTAHAN PADA
MASA DINASTI MAMALIK BAHRI
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan
pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub
kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi sungai Nil yang
dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materi-materi sipil dan militer. Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan
Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan). Dinasti Mamalik bahri
dirintis oleh Aybak yang sekaligus menjadi sultan pertama di dinasti tersebut.[3]
Aybak berkuasa kurang lebih selama tujuh
tahun (1250-1257 M), karena meninggal. Setelah itu ia digantikan oleh anaknya,
yang bernama Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada
tahun 1259 M karena dianggap terlalu muda untuk menjadi seorang pemimpin, dan
digantikan oleh wakilnya yaitu Qutuz.
Setelah Qutuz naik tahta
Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang
dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260
M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil
menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut,
dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah
pimpinan Qutuz, Baybars dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil
menghancurkan pasukan Mongol tersebut.
Kemenangan tersebut atas tentara Mongol membuat
kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di
sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan sumpah setia
kepada penguasa Mamalik.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo
setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan
oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars, mampu berkuasa selama
tujuh belas tahun (657 H./1260 M.-676 H./1277 M.), karena mendapat dukungan
militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi selain Baybars. Selain itu ia
termasuk sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik lainnya.
Baybers pula yang dipandang sebagai pembangun
hakiki dinasti Mamalik. Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah
memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di
Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan
kapal-kapal Mongol di Anatolia. Terlebih lagi prestasi Baybars yang lainnya
ialah dapat menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah
Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258.
Pemerintah dinasti Mamluk/Mamalik selanjutnya dipimpin
oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak
Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad melarikan diri
dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dia
dibai’at sebagai khalifah dan
diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M. Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah
untuk menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri
Islam yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas
syariah. Setelah itu, Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan
jumlah khalifah sebanyak 18 orang antara tahun 659-923 H./1260-1517 M.
Tidak begitu banyak yang
berarti dari kerajaan Mamalik di
bawah pimpinan Bani Babiris. Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./1280
M.-689H./1290 M.) yang telah menyumbangkan
jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar
negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan
internasional. Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya.
Hal ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan
untuk melindungi kepentingan pribadinya.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan
prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni
Nashir Muhammad (696 H./1296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama
tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.Masa setelah Bani Qalawun, tampuk
pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan.
Kesembilan sultan ini hanyalah simbul nama dan tidak berpengaruh terhadap
masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairy, “mereka tidak memiliki
daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun “, sampai sultan terakhir
dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Asyraf
bin Sya’ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang
menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
C. PEMERINTAHAN PADA MASA
DINASTI MAMALIK BURJI
Masa pemerintahan Mamluk
Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Brquq (784 H./1382 M.-801 H./1399 M.)
setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj
bin Asyraf Sya’ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji,
baik dari segi status para sultan yang di merdekakan atau pun dari segi sistem
pemerintahan yang oligarki.
Perbedaan dari kedua pemerintah tersebut
adalah sukses pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan
turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi
karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem
pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal
di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan
Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808 H./1405 M.), putra sultan Barquq dan
merupakan salah seorang cucu jengis khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di
wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771 H./1370 M.-807 H./1405 M.),
melakukan penyerangan ke wilayang Suriah. Timur Lenk tampaknya mengulang
kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman Hulagu Khan ketika
menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan Mamluk pun
menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut. Pada tahun 1401,
Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang
menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus yang
dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar. Ketika pasukan Mamluk
disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota
itu dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan
perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni
Al-Asyraf Baribai (825 H./1422 M.-841 H./1437 M.) dan Al-Zahir Khusyqadam (865
H./1461 M.-872 H./1467 M.) masih harus terus mempertahankan wilayahnya dari
serangan pasukan salib di kepulauan Cyprus dan Rhodos (Laut Aegea, sekarang
milik Yunani). Kedua ekspedisi militer ini berhasil menahan kekuatan kaum
Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan keunggulanya
untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.
Melihat Banyaknya sultan-sultan Mamluk Burji
yang naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau
pertentangan yang terjadi. Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk
aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari
luar wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan persatuan dan banyak
yang meminta bantuan dari luar. Sebagai contoh pada masa pemerintahan Sultan
Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-901 H./1496 M.), terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan gerakan
pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir. Pada masa pemerintahan ini,
terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang
merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki
Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan Mamluk
dilanda krisis dan perang, baik dari dalam (Mamluk) maupun dari pihak luar
seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang portugis yang melarang dan mengusik
jalur perdagangan Mamluk di Laut Tengah hingga tewasnya Sultan Qanshus Al-Guri
ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada tahun 922 H./1516 M. sejak
saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah
Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih. Namun, pada saat itu
ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk sehingga ia harus menghadapi
sendiri pasukan Turki Utsmani. Akhirnya, Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani
atas bantuan beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang
kota Kairo, pada tahun 923 H./1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa
pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasaan Turki Utsmani di
Mesir dan Syam.[4]
D. KEMAJUAN
DAN KEMUNDURAN DINASTI MAMALIK/MAMLUK DALAM DUNIA ISLAM.
Kemunduran dan Kehancurannya Dinasti Mamalik/Mamluk
mencapai banyak kemajuan berkat wibawa dan kepribadian para sultan yang sangat
tinggi, loyalitas masyarakat dan loyalitas para militer kepada negara,
solidaritas sesama militer, stabilitas keamanan negara yang bebas dari ancaman
dan gangguan dari luar.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan
dinasti Mamalik atas tentara Mongold' Ayn al-Jalut menjadi modal
besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa
dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan
pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit
politik.
Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari
kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani
Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsaMongol, al-Mustanshir sebagai khalifah.
Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara
Hulaghu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah ini
dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang
dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara
Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia
dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka
hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan
jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh
dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya.
Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur
perdagangan antara Asia dan Eropa, dan menjadi lebih penting
karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut
Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil
pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh
pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun
darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan
perekonomiannya.
Di bidang ilmu
pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan
asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu
banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi,
matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar,
seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di
bidang astronomi dikenal namaNashiruddin ath-Thusi. Di bidang
matematika Abul Faraj al-'Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan
'Ali an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru
manusia, Abdul Mun'im ad-Dimyathi, seorang dokter hewan,
dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama
Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul
Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid dan ahli
hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah yang
menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah dalam
ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan
di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun
sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang
didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan,
villa-villa, kubah dan menara masjid.[5]
Akan tetapi, setelah semua itu menjadi pudar
dan menipis, mulai pula dinasti ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Dinasti
Mamluk ini berkuasa selama kurang lebih 267 tahun melewati 47 sultan dengan
prekuensi pergantian pimpinan sebanyak 53 kali. Kemunduran dinasti ini bermula
dari peralihan kekuasaan dari tangan Mamalik Bahri ke Mamalik Burji.
Kemunduran ini secara garis besar disebabkan
oleh dua faktor yaitu, faktor internal, dan faktor eksternal. Secara internal,
diawali dengan menurunnya solidaritas antara sesama militer, hal ini dipicu oleh
kehadiran Mamluk Burji dari Circassia yang dibawa oleh sultan Qalawun. Apalagi
setelah Mamluk Burji ini berkuasa solidaritas dan disiplin tentara merosot, dan
secara militer Mesir sudah menjadi lemah. Penguasa Burji banyak di antara
mereka yang bermoral rendah, tidak menyukai ilmu pengetahuan, hidup
bermewah-mewah dan berpoya-poya, korupsi uang negara mengakibatkan pajak
dinaikkan, akibatnya semangat kerja rakyat menjadi menurun dan perekonomian
negara merosot dan tidak stabil.
Kondisi ini semakin diperparah dengan
datangnya musim kemarau panjang dan berjangkitnya berbagai wabah penyakit.
Secara eksternal, kemunduran tersebut disebabkan oleh penemuan Tanjung Harapan
di Afrika Selatan oleh Vasco da Gama (Portugis) pada tahun 1498 yang
dijadikannya sebagai jalur perdagangan dari negeri-negeri penghasil
rempah-rempah. Akibatnya, jalur pelabuhan rempah-rempah dari India ke Eropa,
menyebabkan pelabuhan besar Kairo dan Syiria lambat laun menjadi sepi sehingga
penghasilan negara dari sektor pelabuhan semakin merosot.[6]
Faktor lain sebagai penyebab langsung
kemunduran dan kehancuran dinasti Mamalik adalah munculnya kekuatan baru dari
kerajaan Usmani. Kerjaan inilah yang mengakhiri riwayat dinasti Mamalik di
Mesir. Sejak kekalahan pasukan Mamalik menghadapi pasukan Usmani dalam suatu
pertempuran sengit di luar kota Kairo pada tahun 1517 M., wilayah Mesir jatuh
ke dalam kekuasaan Turki Usmani, bahkan Mesir dijadikan salah dari satu
provinsinya. Hal ini berlangsung sampai akhirnya Napoleon Bonaparte dari
Perancis mencaploknya dari Turki Usmani.
PENUTUP
Dinasti Mamalik dibentuk melalui
persekongkolan antara Syajaratuddur (istri Malik al-Shaleh sebagai sultan
terakhir dari dinasti Ayyubiah) dengan elit militer Mamalik. Dinasti ini secara
resmi berdiri setelah Syajaratuddur menyerahkan kekuasaannya kepada suaminya
Izzuddin Ayabek. Melalui kesuksesan kepemimpinan sebanyak 53 kali melewati 47
sultan dan dinasti Mamalik dapat mengukir sejarah dengan mengembangkan
kekuasaannya selama kurang lebih 267 tahun dan mencapai
keberhasilan-keberhasilan di berbagai hal, baik di bidang ilmu pengetahuan,
pemerintahan, ekonomi mupun seni dan budaya.
Kemajuan inilah yang justru menjadi mata
rantai yang menghubungkan umat Islam pada priode sesudahnya dengan peradaban
klasik, yang melahirkan ilmuan-ilmuan terkenal di bidangnya masing-masing.
Namun demikian, prestasi gemilang ini akhirnya menghadapi suatu kenyataan pahit
sejak berkuasanya Mamalik Burji yang menyebakan merosotnya solidaritas sesama
militer. Selain itu, para sultan tidak mempunyai kemampuan di bidang
pemerintahan, berakhlak buruk, melakukan korupsi, sehingga memperburuk
perekonomian dan stabiltas dalam negeri serta memperlemah kekuatan militer.
Akibatnya, mereka tidak mampu lagi membendung serangan kerajaan Usmani sehingga
riwayat besar dinasti Mamalik di Mesir hanya tinggal kenangan.
Daftar pustaka
Ahmad al ‘Usairy, Sejarah
Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003)
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafind Persada, 2007)
Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Http://Pustaka.Abatasa.Com/Pustaka/Detail/Sejarah/Allsub/146/dinasti-mamalik-di-mesir-masa-kemunduran.html
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (bandung :
pustaka setia, 2008), 235
[2] http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/sejarah/allsub/146/Dinasti-Mamalik-Di-Mesir-Masa-Kemunduran.html
(diakses pada hari sabtu 5 oktober 2013)
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 236
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Raja Grafind Persada, 2007), 126-128.
[6] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, 2003), 313.
0 comments:
Post a Comment