Sunday, 18 May 2014

Oleh: Yusuf Yordan

Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah Islam dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Dimulai dari masa Rosulullah SAW, shahabat, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya Islam, banyak sekali mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau Islam tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti Islam yang telah menjadi karakteristik Islam selama berabad-abad. Realita dinasti-dinasti Islam telah membangun dan membentuk kesatuan Islam.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan sejarah peradaban Islam adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti Islam yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi. Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan Islam sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya dinasti-dinasti Islam pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan dinasti mamluk atau mamalik yang telah berlangsung antara tahun 648 H / 1250 M hingga 922 H / 1517 M. Mulai dari mengenai sejarah berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab kemunduran dan keruntuhan dinasti mamalik di Mesir.








A. SEJARAH MUNCULNYA DINASTI MAMALIK/MAMLUK DI MESIR
Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar manjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan ‘abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayub. Mamluk Dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku Bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia.
Dinasti Mamluk atau Mamalik adalah sebuah dinasti atau pemerintahan yang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayubiyah sebagai budak, yang kemudian di didik dan dijadikan tentara, dan mereka ditempatkan di tempat yang tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Penguasa Ayubiyah yang terakhir, yaitu al Malik al Saleh, yang menjadikan budak sebagai pengawalnya untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa itu pun mereka (Kaum budak) mendapatkan hak yang menjaminkan, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbaan meteril.[1]
Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M). Anaknya yang bernama Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi dari pada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah anak dari al-Malik al-Salih. Lalu istri dari al-Malik al-Salih yang bernama Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.
Dibawah kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian mempersunting seorang tokoh terkemuka Mamalik yang bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir.
 Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.[2]



B.  PEMERINTAHAN PADA MASA DINASTI MAMALIK BAHRI
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materi-materi sipil dan militerSejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan). Dinasti Mamalik bahri dirintis oleh Aybak yang sekaligus menjadi sultan pertama di dinasti tersebut.[3]
Aybak berkuasa kurang lebih selama tujuh tahun (1250-1257 M), karena meninggal. Setelah itu ia digantikan oleh anaknya, yang bernama Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M karena dianggap terlalu muda untuk menjadi seorang pemimpin, dan digantikan oleh wakilnya yaitu Qutuz.
 Setelah Qutuz naik tahta Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz, Baybars dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut.
Kemenangan tersebut atas tentara Mongol membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa Mamalik.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars, mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./1260 M.-676 H./1277 M.), karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi selain Baybars. Selain itu ia termasuk sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik lainnya.
Baybers pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik. Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia. Terlebih lagi prestasi Baybars yang lainnya ialah dapat menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258.
            Pemerintah dinasti Mamluk/Mamalik selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dia dibai’at sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M. Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu, Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang antara tahun 659-923 H./1260-1517 M.
Tidak begitu banyak yang berarti dari kerajaan Mamalik di bawah pimpinan Bani Babiris. Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./1280 M.-689H./1290 M.) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan pribadinya.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./1296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbul nama dan tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairy, “mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun “, sampai sultan terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Asyraf bin Sya’ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
C. PEMERINTAHAN PADA MASA DINASTI MAMALIK BURJI
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Brquq (784 H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf Sya’ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji, baik dari segi status para sultan yang di merdekakan atau pun dari segi sistem pemerintahan yang oligarki.
Perbedaan dari kedua pemerintah tersebut adalah sukses pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808 H./1405 M.), putra sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu jengis khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771 H./1370 M.-807 H./1405 M.), melakukan penyerangan ke wilayang Suriah. Timur Lenk tampaknya mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman Hulagu Khan ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan Mamluk pun menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut. Pada tahun 1401, Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus yang dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar. Ketika pasukan Mamluk disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota itu dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni Al-Asyraf Baribai (825 H./1422 M.-841 H./1437 M.) dan Al-Zahir Khusyqadam (865 H./1461 M.-872 H./1467 M.) masih harus terus mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan salib di kepulauan Cyprus dan Rhodos (Laut Aegea, sekarang milik Yunani). Kedua ekspedisi militer ini berhasil menahan kekuatan kaum Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan keunggulanya untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.
Melihat Banyaknya sultan-sultan Mamluk Burji yang naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau pertentangan yang terjadi. Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari luar wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan persatuan dan banyak yang meminta bantuan dari luar. Sebagai contoh pada masa pemerintahan Sultan Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-901 H./1496 M.), terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan gerakan pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir. Pada masa pemerintahan ini, terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam (Mamluk) maupun dari pihak luar seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang portugis yang melarang dan mengusik jalur perdagangan Mamluk di Laut Tengah hingga tewasnya Sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada tahun 922 H./1516 M. sejak saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih. Namun, pada saat itu ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani. Akhirnya, Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, pada tahun 923 H./1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasaan Turki Utsmani di Mesir dan Syam.[4]


D. KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN DINASTI MAMALIK/MAMLUK DALAM DUNIA ISLAM.
Kemunduran dan Kehancurannya Dinasti Mamalik/Mamluk mencapai banyak kemajuan berkat wibawa dan kepribadian para sultan yang sangat tinggi, loyalitas masyarakat dan loyalitas para militer kepada negara, solidaritas sesama militer, stabilitas keamanan negara yang bebas dari ancaman dan gangguan dari luar.
 Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongold' Ayn al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik.
Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsaMongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, dan menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal namaNashiruddin ath-Thusi. Di bidang matematika Abul Faraj al-'Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan 'Ali an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abdul Mun'im ad-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid dan ahli hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.[5]
Akan tetapi, setelah semua itu menjadi pudar dan menipis, mulai pula dinasti ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Dinasti Mamluk ini berkuasa selama kurang lebih 267 tahun melewati 47 sultan dengan prekuensi pergantian pimpinan sebanyak 53 kali. Kemunduran dinasti ini bermula dari peralihan kekuasaan dari tangan Mamalik Bahri ke Mamalik Burji.
Kemunduran ini secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu, faktor internal, dan faktor eksternal. Secara internal, diawali dengan menurunnya solidaritas antara sesama militer, hal ini dipicu oleh kehadiran Mamluk Burji dari Circassia yang dibawa oleh sultan Qalawun. Apalagi setelah Mamluk Burji ini berkuasa solidaritas dan disiplin tentara merosot, dan secara militer Mesir sudah menjadi lemah. Penguasa Burji banyak di antara mereka yang bermoral rendah, tidak menyukai ilmu pengetahuan, hidup bermewah-mewah dan berpoya-poya, korupsi uang negara mengakibatkan pajak dinaikkan, akibatnya semangat kerja rakyat menjadi menurun dan perekonomian negara merosot dan tidak stabil.
 Kondisi ini semakin diperparah dengan datangnya musim kemarau panjang dan berjangkitnya berbagai wabah penyakit. Secara eksternal, kemunduran tersebut disebabkan oleh penemuan Tanjung Harapan di Afrika Selatan oleh Vasco da Gama (Portugis) pada tahun 1498 yang dijadikannya sebagai jalur perdagangan dari negeri-negeri penghasil rempah-rempah. Akibatnya, jalur pelabuhan rempah-rempah dari India ke Eropa, menyebabkan pelabuhan besar Kairo dan Syiria lambat laun menjadi sepi sehingga penghasilan negara dari sektor pelabuhan semakin merosot.[6]
Faktor lain sebagai penyebab langsung kemunduran dan kehancuran dinasti Mamalik adalah munculnya kekuatan baru dari kerajaan Usmani. Kerjaan inilah yang mengakhiri riwayat dinasti Mamalik di Mesir. Sejak kekalahan pasukan Mamalik menghadapi pasukan Usmani dalam suatu pertempuran sengit di luar kota Kairo pada tahun 1517 M., wilayah Mesir jatuh ke dalam kekuasaan Turki Usmani, bahkan Mesir dijadikan salah dari satu provinsinya. Hal ini berlangsung sampai akhirnya Napoleon Bonaparte dari Perancis mencaploknya dari Turki Usmani.




PENUTUP
Dinasti Mamalik dibentuk melalui persekongkolan antara Syajaratuddur (istri Malik al-Shaleh sebagai sultan terakhir dari dinasti Ayyubiah) dengan elit militer Mamalik. Dinasti ini secara resmi berdiri setelah Syajaratuddur menyerahkan kekuasaannya kepada suaminya Izzuddin Ayabek. Melalui kesuksesan kepemimpinan sebanyak 53 kali melewati 47 sultan dan dinasti Mamalik dapat mengukir sejarah dengan mengembangkan kekuasaannya selama kurang lebih 267 tahun dan mencapai keberhasilan-keberhasilan di berbagai hal, baik di bidang ilmu pengetahuan, pemerintahan, ekonomi mupun seni dan budaya.
Kemajuan inilah yang justru menjadi mata rantai yang menghubungkan umat Islam pada priode sesudahnya dengan peradaban klasik, yang melahirkan ilmuan-ilmuan terkenal di bidangnya masing-masing. Namun demikian, prestasi gemilang ini akhirnya menghadapi suatu kenyataan pahit sejak berkuasanya Mamalik Burji yang menyebakan merosotnya solidaritas sesama militer. Selain itu, para sultan tidak mempunyai kemampuan di bidang pemerintahan, berakhlak buruk, melakukan korupsi, sehingga memperburuk perekonomian dan stabiltas dalam negeri serta memperlemah kekuatan militer. Akibatnya, mereka tidak mampu lagi membendung serangan kerajaan Usmani sehingga riwayat besar dinasti Mamalik di Mesir hanya tinggal kenangan.













Daftar pustaka
Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafind Persada, 2007)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Http://Pustaka.Abatasa.Com/Pustaka/Detail/Sejarah/Allsub/146/dinasti-mamalik-di-mesir-masa-kemunduran.html



[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (bandung : pustaka setia, 2008), 235
[2]  http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/sejarah/allsub/146/Dinasti-Mamalik-Di-Mesir-Masa-Kemunduran.html (diakses pada hari sabtu 5 oktober 2013)
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 236
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm.241-243.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafind Persada, 2007), 126-128.
[6] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 313.

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!