Oleh: Yusuf Yordan[1]
Pengantar
Pada
hakikatnya, Republik Indonesia adalah suatu negara yang terbentang luas dengan
banyak berjajar pulau. Selain itu, Indonesia juga kaya akan bahasa, budaya dan
suku bangsa. Kepulauan Indonesia juga memiliki posisi yang sangat strategis,
disamping diapit oleh dua benua, yaitu Asia dan Australia. Kepulauan Ini juga
terletak diantara dua samudra, yaitu pasifik dan Indonesia. Oleh karena itu,
posisi kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan
antarbangsa. Aspek kelautannya merupakan integrator dari ribuan pulau yang
terpisah-pisah itu.
Berbicara
tentang kepulauan Indonesia, salah satu yang paling mengesankan adalah
bentangan peradaban bahari yang telah menjadi karakteristik bangsa ini selama
berabad-abad. Dengan berjajarnya pulau-pulau serta alam lautnya merupakan
penopang dari beragam bentuk tradisi serta budaya yang bermuara pada integrasi negara.
Dengan adanya laut, orang dapat saling berjumpa dan berinteraksi.
Satu wilayah bahari yang tak boleh
lekang dari masalah perbincangan perairan di Indonesia, adalah mengenai
perairan Bangka-Belitung. Pada setiap masanya, daerah ini memiliki karakteristik
panorama alam serta bentangan sejarah yang majemuk. Tak ayal, dengan latar
belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi
suatu pemikiran yang perlu diperhatikan.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan memaparkan hal-hal apa saja tentang
Bangka Belitung dari berbagai aspek, yaitu mulai dari letak geografisnya hingga
kemajemukan masyarakatnya. Mengenai Bangka Belitung yang menjadi memori
kolektif pembentuk integritas bangsa.
A.Bangka Belitung dalam
Sejarah
Sumber:
//http//pangkalpinang.bpk.go.id.
Bangka
Belitung merupakan suatu provinsi yang terletak di pulau Sumatra. Sebelumnya, provinsi ini merupakan bagian dari salah satu
provinsi di Sumatra, yaitu Sumatra Selatan yang kemudian telah diresmikan menjadi
provinsi tersendiri pada tahun 2000. Kepulauan Bangka Belitung sendiri terdiri
atas pulau-pulau kecil, seperti pulau Pongok, pulau Lepar dan pulau Mendanau. Tercatat
hanya 50 pulau yang dihuni oleh masyarakat dari total berjumlah 470 pulau. Hanya
saja, sebagai penopang dari banyaknya pulau-pulau tersebut ialah Pulau Bangka
dan Pulau Belitung.
Provinsi
Bangka Belitung terletak pada 104
derajat 50o sampai 108 derajat 18o bujur timur dan 1
derajat 20o sampai 3 derajat 15o. Oleh karena letak
geografis seperti itulah yang membuat sebagian besar kepulauan Bangka Belitung
berupa daerah dataran rendah. Dengan daerah pantainya yang hampir sebagian
besar langitnya berawan. Beberapa bukit kecil tersembul berada disana-sini,
terutama dibagian tengah pulau itu.
Luas
wilayah Kabupaten Bangka kurang lebih sebesar 3.028.794 Km2. Secara
tidak langsung, wilayah kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan wilayah
kota lainnya di provinsi kepulauan Bangka Belitung, yaitu wilayah kota Pangkal
Pinang, kabupaten Bangka Tengah dan kabupaten Bangka Barat. Pulau Bangka sendiri juga
memiliki luas sekitar 11.475 Kilometer Persegi.
Seperti di Indonesia pada umumnya, keadaan alam kepulauan
Bangka Belitung bisa dibilang memiliki iklim tropis kalau dilihat dari aspek
cuaca dan keiklimannya, dengan variasi hujan antara 43,6 mm hingga 360,2 mm
setiap bulannya, dengan suhu rata-tara 26 derajat celcius hingga 30 derajat
celcius setiap tahunnya. Tanah yang dimiliki di daerah Bangka Belitung juga
sebagian kurang bagus untuk jenis tanaman tertentu. Hanya sebagian kecil saja
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam.[2]
Bangka
Belitung juga terkenal sebagai pulau penghasil timah dan lada. Daerah ini juga
merupakan bagian dari “sabuk timah” Yang membentang dari Thailand, Malaysia,
sampai ke Bangka Belitung, Singkep dan daerah Nusantara lainnya. Penduduk
setempat juga menanam pelbagai jenis lada, antara lain ada yang bernama lada kawur,
lada manna dan lada putih.
Tetapi
dari setiap lada yang dihasilkan, mempunyai keunggulannya masing-masing. Lada
putih memiliki kwalitas yang lebih superior dibandingkan dengan lada lainnya.
Oleh karena itu, lada putih berharga lebih mahal dibandingkan dengan lada
lainnya.[3]
Dari segi kekayaan alam selanjutnya yang dihasilkan oleh kepulauan Bangka
Belitung ialah timah. Komoditas ini merupakan suatu sumber kekayaan alam yang
penting, karena selain sebagai salah satu komoditas utama, timah juga banyak
yang dieskpor ke luar-luar negeri, terutama Cina dan negara Asia lainnya.[4]
Aspek
dari sejarah Bangka Belitung merupakan suatu kepulauan yang banyak mengalami
kepemerintahan kerajaan-kerajaan. Tercatat pada Abad ke-7, Kerajaaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit pernah mendiami wilayah-wilayah Bangka Belitung.
Sehingga sekitar tahun 1365 dimana masa kejayaan Kerajaan Majapahit sedang
berada pada puncak kejayaannya, kepulauan Bangka menjadi salah satu benteng
pertahanan laut kerajaan tersebut. Tetapi tidak lama pulau ini berhasil ditaklukan
oleh Palembang sekitar abad ke-15 dibawah kepemimpinan Cakradiningrat II.
Seiring
berjalannya waktu, kepulauan ini mengalami perpindahan kekuasaan dari tangan
penguasa baru. Kurang lebih abad ke-15, disamping Bangka Belitung sendiri sudah
berhasil ditaklukkan oleh Palembang, disana sudah terbentuk pula suatu kerajaan
baru yang bernama kerajaan Badau, yang kala itu dipimpin oleh raja pertamanya
yang bernama Datuk Mayang Geresik. Sebagai ibukota kerajaannya, dipilihlah daerah
Pelulusan lah sebagai pusat pemerintahanya saat itu. Kota-kota yang dikuasai oleh
kerajaan Badau cukup banyak. Mulai dari daerah Badau, Simpang Tiga, Bange,
Manggar dan Gantung.[5]
Baru
pada abad ke-17, pulau Bangka Belitung banyak disinggahi oleh para
pedagang-pedagang Gujarat yang notabene
berasal dari bangsa Arab dan Cina. Memang, sejarah pulau Bangka tidak dapat dilepaskan
keterkaitannya dengan Tiongkok, terutama ketika banyak berdatangan para migran
dari Tiongkok ke pulau ini. Melihat dari sejarah kedatangan para migran
Tionghoa di Pulau Bangka, ternyata budaya bedol desa juga sudah dikenal di
kalangan masyarakat Tionghoa. Setidaknya, masyarakat Tionghoa di pulau Bangka
yang hidup di masa-masa selanjutnya, adalah terbentuk dari praktik bedol desa
yang menurut catatan Belanda berlangsung sejak awal abad ke-18 atau sekitar
tahun 1710 Masehi.
Seiring
berjalannya waktu, keturunan Tionghoa atau bangsa Cina yang lahir dan pernah
tinggal di Bangka Belitung namun
kemudian kembali lagi ke Tiongkok dan melakukan kunjungan ke Bangka Belitung dalam
rangka bertemu dengan keluarga sekaligus mengenang tanah kelahirannya. Kunjungan
para keturunan Tiongkok tersebut merupakan peluang untuk mempromosikan obyek
wisata yang banyak terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Oleh
karena itu, kepulauan Bangka Belitung mempunyai objek wisata yang sangat
menarik dan menawan. Seperti perkebunan lada, sawit maupun karet, wisata alam,
maupun wisata sejarah dan budaya yang berkaitan dengan budaya Tiongkok/Cina
seperti ritual “sembahyang rebut” (Chit Ngiat Pan) dan Imlek. Pengembangan
kampung Gedong sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dapat menjadi daya
tarik tersendiri bagi warga keturunan Cina yang masih mempunyai keterikatan
dengan Bangka untuk mengunjungi tanah kelahiran maupun sanak saudara sekaligus
bernostalgia.
Selain
Bangsa-bangsa itu, pada tahun 1668 Bangsa Belanda mencoba menjajaki perdagangan
di Belitung dengan cara berdagang, walaupun tidak mendapat keuntungan yang
besar disana. Tetapi dengan cara seperti itulah bangsa Belanda juga mengetahui dan
mengenal kepulauan Belitung. Konsepnya dengan cara berlayar dan berlabuh di
suatu pesisir pantai barat daya yang disebut Sungai Balok, yang pada saat itu
merupakan pelabuhan yang sering disinggahi oleh para pedagang-pedagang asing.[6]
Selanjutnya,
dalam sejarah kemaritiman pulau Bangka Belitung satu hal yang patut
digarisbawahi adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut Nusantara telah
terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagaskar dan
Australia. Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan
Indonesia menjadi jalur transpotasi laut yang penting dalam pelayaran dunia.
Terkait
dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak
kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam
bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra,
penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting
dalam kemajuaan jaringan perdagangan internasional Bangka Belitung.
Melalui
pelayaran dan perdagangan, pelbagai tempat saling bersentuhan dan saling
mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya. Apalagi kepulauan Bangka Belitung
sendiri terletak diantara silang pelayaran dan perdagangan antar wilayah yang
berpusat di Kanton, Cina. Sejak awal masehi, kepulauan Indonesia telah terlibat
di dalam dinamika itu.
Memang
secara geografis, pelayaran dan perdagangan itu melintasi beberapa jalur di
kepulauan Indonesia dalam upaya mencapai Kanton guna meraup keuntungan. Termasuk
pulau Bangka Belitung, yang masih tergolong pulau terdepan perairan Nusantara,
sejumput keprihatinan muncul yang berkenaan dengan perhatian terhadap penulisan
sejarahnya. Historiografi Bangka Belitung, memang tergolong masih jarang
ditulis oleh sejarawan.
Pulau
ini, dalam kaitan sumber daya tambang berupa timah, kerap dikaitkan dengan
pulau tetangganya, Bangka Keduanya dahulu merupakan bagian administratif dari
Palembang. Oleh karena itu, gambaran tentang masa lalu pulau itu tidak lebih
daripada bagian perkembangan Palembang. Sehubungan itu, inisiatif dan upaya
menyibak masa lampau pulau dan masyarakat Belitung perlu disambut baik dan
diberi dukungan penuh demi penulisan Sejarah Indonesia yang utuh dan
terintegrasi.[7]
B.
Laut sebagai Persatuan Nasional
Membahas
tentang penjelajahan kelautan di Nusantara, dalam perjalanan waktu, mengalami
era gelombang evolusi pelayaran dunia. Nusantara yang dikenal sebagai negara
kepulauan secara geografis sangat terbuka untuk siapa saja dari segala penjuru dunia
untuk mengirim dan menerima kebudayaan melalui jalur laut. Laut sendiri merupakan
akses teansportasi penting bagi masyarakat lintas pulau di Nusantara.
Melalui tradisi pelayaran, terjalinlah
suatu informasi dan komunikasi antarsuku bangsa yang membentuk suatu integrasi
bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk bukti tersebut dapat diketahui sendiri dengan
adanya bangunan-bangunan penduduk pelayaran seperti; pelabuhan, perbengkelan
perahu dan kapal serta bangunan lainnya.[8]
Rasa
dan tali persaudaraan sosial sangatlah kental dan terpelihara di Bangka
Belitung. Baik di kota maupun di desa. Keadaan di desa mempunyai kondisi
kekerabatan yang lebih terjaga diantara masyarakatnya, dibanding di
perkotaannya. Kolektivisme itu sendiri terlihat dari sikap gotong royong yang
dilakukan oleh masyarakat pribumi yang telah menjadi adat istiadat daerah setempat.
Contoh kecil dari sikap gotong
royong dari masyarakat setempat ialah, jika masyarakat setempat ingin membangun
sebuah aula atau rumah, orang-orang di sekitar lingkungannya bahkan dari desa
lain datang dan serentak langsung mambantu guna menyelesaikan bangunan tersebut.
Bantuan mereka bersifat sukarela, tanpa mengharapkan imbalan, karena mereka tahu
apabila mereka ingin membangun hal yang sama atau sebagainya semua organisasi masa
pasti membantunya.
Memang, rasa kesosialan yang
demikian tidak dapat diukur dengan pandangan sebelah mata. Pola dasar hidup
gotong royong telah menjadi unsur penting pembangun visi persatuan di tengah
masyarakat Indonesia. Perbedaan status sosial, agama, pangkat, maupun ras,
seakan telah luntur dan menjelma menjadi suatu semangat kerukunan dalam
membangun mental dan etos kerakyatan.
Gotong royong yang dimaksud disini
yaitu dilihat sebagai suatu alat in-group.
Istilah ini berhubungan dengan
komunikasi mendalam yang mengikat golongan-golongan itu. Bukan mengikat anggota-anggota
luar yang terkadang harus memberi imbalan untuk suatu pengorbanan atau
pertolongan terhadap orang-orang desa terhadap suatu desa.[9]
“Gotong royong masyarakat”
Tradisi
atau kebudayaan ialah keseluruhan dari hasil pengembaraan batin, intelektual,
maupun rasa estetika (keindahan). Manusia yang hidup bermasyarakat, sudah
barang tentu memiliki suatu kearifan lokal yang khas dan berbeda dengan kelompok
masyarakat lainnya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan budaya serta
penghayatan tradisi yang memadai, berarati telah turut pula menjaga ketahanan
negara dan bangsanya, khususnya terkait kekayaan khazanah intelektualnya.
Kebudayaan
dipelajari dari golongan atau masyarakat dalam kehidupan bersama dan tidak
dilahirkan hanya berkutat pada sifat biologis atau karena naluri. Umpamanya terdapat
pada masyarakat semut atau burung manyar dan gelatik untuk membuat sanggarnya
tanpa belajar.
Memasuki
era kehidupan beraksara, manusia pun telah mencerap suatu pembaruan yang
radikal di ruang publiknya. Masing-masing bangsa dari pelbagai belahan negeri
memiliki ciri khas tradisi dan kebudayaan masing-masing. Salah satu dari sekian
banyak kekhasan ini, ialah tradisi dari Bangka Belitung yang masih hidup dan
masih banyak dijumpai yaitu Tradisi Perang Ketupat.
Tradisi
tersebut merupakan tradisi asli masyarakat Bangka Belitung yang pada saat itu
belum adanya agama atau kepercayaan. Dengan tujuan memanggil roh halus dan memerangi
roh-roh halus yang jahat yang kerap kali mengganggu masyarakat setempat.
Tradisi tersebut juga menggunakan metode upacara yang dipimpin oleh tiga orang dukun, yaitu dukun darat, dukun laut dan dukun yang paling sesepuh. Tujuan dari upacara sendiri ialah untuk memanggil para roh halus dan memberi makan kepada mereka dengan cara meletakkan di atas atap rumah yang terbuat dari kayu dan dilakukan dengan bergiliran. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, masuknya Islam di Bangka membuat tradisi tersebut berubah cara dan subtansinya. Walaupun tujuanya sama namun berbeda caranya.[10]
“Tradisi lempar
ketupat”sumber://http//www.forum.viva.co.id
Membicarakan
Islam berarti membicarakan kepercayaan, di Bangka Belitung sendiri banyak yang
menganut agama Islam dalam kata lain Islam merupakan agama yang mendominasi
masyarakat setempat, disamping penganut agama Kristen, Hindu, Budha maupun
aliran kepercayaan Kong Hu Cu. Agama merupakan salah satu hal yang sangat
penting. Agama merupakan suatu bentuk pemujaan terhadap Tuhan, baik secara
pribadi maupun umum. Misalnya dengan melakukan persembahan korban, pertemuan,
prosesi dan lain-lain itu merupakan suatu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.[11]
Bertitik tolak dari kenyataan sejarah, masuknya Islam sendiri ke
Sumatera tepatnya Sumatra Selatan yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya, adalah
melalui pulau Bangka yang waktu itu masih
merupakan bagian dari Palembang. Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya
kemiripan kebudayaan yang telah berkembang di Malaka dan Bangka. Kemiripan
tersebut dapat diidentifikasi pada beberapa simbol budaya dan jenis permainan,
seperti tampes yaitu sejenis kopiah dan baju teluk belanga dan munculnya jenis
permainan sepak raga yang dibuat dari rotan sagak.
Dalam
struktur perekonomiannya kepulauan Bangka Belitung sendiri memiliki sektor kelautan
dan pertanian yang paling dominan dibandingkan sektor yang lainnya seperti
penambangan atau industri. Oleh karena itu, dengan keadannya yang seperti itu,
sudah seharusnya pembangunan ekonomi di provinsi ini berpihak kepada
pembangunan perekonomian rakyat. Terutama di daerah pedesaan, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Lingkungan
hidup yang begitu dekat dengan laut telah mendorong penduduk pantai di wilayah
Bangka Belitung untuk mengembangkan suatu cara hidup yang sedikit banyak besifat
maritim. Nelayan merupakan profesi sebagian besar masyarakat yang hidup di
dekat laut. Baik mengarungi laut dengan menggunakan perahu besar demi mencari
ikan, atau menggunakan perahu kecil untuk laut yang dangkal, tergantung kebutuhan
dan alat-alat yang mereka punya.[12]
Kehidupan
para nelayan sendiri di Bangka atau pada umumnya di Indonesia, tidaklah dikategorisasikan
sebagai mata pencarian suku bangsa-suku bangsa tertentu saja, akan tetapi bisa
dikatakan sebagai mata pencaharian bagi seluruh suku bangsa Indonesia yang pada
umumnya tinggal di tepi pantai dan laut. Dengan laut sebagai media atau mata
pencariannya dan nelayan sebagai pekerjaanya.
“Nelayan”
Sumber://http//www.antarbabel.com
Secara
keseluruhan, nelayan di Indonesia tampaknya ada beberapa suku bangsa yang
memang menjadikan mata pencarian dan mengandalkan laut sebagai jati diri suatu
suku bangsa yang bersangkutan. Memang secara tidak langsung semua berkaitan
dengan suku bangsa tersebut sehingga secara mitologis bercerita tentang laut
beserta isinya.
Disamping
itu, selain keindahan pulau Bangka sendiri, perairan pulau Bangka pun banyak
menarik perhatiaan kelompok nelayan di luar daerah tersebut, oleh karena ikannya
yang beragam dan juga keindahan biotiknya yang menawan. Misalnya kaum nelayan
suku Bugis. Pada mulanya mereka hanya sekedar datang pada waktu panen ikan,
tetapi lama-kelamaan mereka kemudian menetap dan membaur dengan masyarakat
setempat sampai-sampai membuat perkampungan sendiri.
Pada
intinya laut merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut orang dapat
mengeksploitasikan sumber daya biota lautnya dan kegiatan-kegiatan kemaritiman
yang menjanjikan secara ekonomis. Pada mulanya hanya bertujuan untuk mencari
hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan
kesejahteraan sendiri atau kata lainnya untuk membangun kekayaan dan kejayaan
dalam bidang kemaritiman.
Seperti
yang kita ketahui, dalam sektor perekonomian, selain usaha dagang yang
dilakukan oleh masyarakat Bangka beraneka ragam. Selain nelayan, masyarakat
lain juga ada yang memiliki profesi yang berbeda, seperti buruh penambangan dan
lain-lain. Seperti yang kita ketahui, pulau Bangka sendiri adalah pulau
penghasil timah, dengan banyaknya penggalian dimana-mana baik di daratan maupun
di lepas pantai. Oleh karena itu buruh penambangan menjadi pekerjaan yang
banyak dilakoni oleh masyarakat setempat baik di kota maupun masyarakat desa
yang berada di perkampungan dan lepas pantai.[13]
Dengan
keterbukaan masyarakat Bangka atas pendatang baru itulah yang membuat pulau ini
bercorak heterogen. Di pulau ini juga banyak terdapat berbagai jenis suku
bangsa. Mereka membaur, berkembang dan tetap menjaga budaya mereka
masing-masing. Di samping orang-orang dari suku Bugis, suku Madura, suku Butun,
terdapat suku Jawa, Bali dari daratan Sumatera (Medan, Aceh, Palembang, Padang dan
lain-lain), Ambon dan sebagainya.
Dalam
masyarakat majemuk yang seperti itulah, yang membuat segala gerak langkah
kehidupan berkisar pada usaha pencaharian nafkah. Setiap individu tampaknya
selalu sibuk dan giat bekerja. Komplek perumahan karyawan yang dibangun di sekitar
pertambangan yang kadang jauh terpisah dari kampung-kampung, membawa corak atau
bentuk kehidupan yang lain. Tetapi hal yang nampaknya seperti pemencilan ini
ternyata tidak pernah membawa pengaruh atau menimbulkan hal-hal yang negatif
oleh karena komunikasi selalu terpelihara dengan baik.
C. Peran Laut Bangka
Belitung sebagai salah satu Perekat Nusantara
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي
الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا
بِإِذْنِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya ; Apakah kamu tiada melihat bahwasanya
Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di
lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada Manusia.[14]
Keberadaan
laut khusunya laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik
Indonesia jelas merupakan sesuatu yang sangatlah janggal. Bagaimana pun
penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga
tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai
pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul suatu integrasi yang awalnya dimulai
dari intensitas mereka dalam pergaulan antarpulau, yang terjalin lewat
perdagangan.
Integrasi
pada dasarnya merupakan suatu penyatuan wilayah dalam sebuah negara yang
berdaulat. Secara umum integrasi menggambarkan suatu proses persatuan dan
kesatuan orang- orang dari berbagai wilayah yang berbeda, walaupun memiliki berbagai
perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi.[15]
Menjadi
salah satu negara kepulauan. Indonesia sendiri merupakan kawasan kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Secara
fisik memang antara satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut,
tetapi dilihat dari sisi kemaritiman perpisahan itu tidak pernah ada karena
seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan
ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat
integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara sosialis,
ekonomis dan kultural.
Secara geografis, memang kepulauan Nusantara
sangatlah strategis sebagai jalur perdagangan internasional, yakni diantara dunia
barat dan dunia timur. Misalanya dari sisi barat, banyak kapal-kapal
berdatangan dari Persia, India, Mesir dan negara-negara Eropa. Sedangkan dari
sisi timur meliputi negeri Jepang, Cina dan Filipina. Dengan latar belakang
itu, maka tidaklah salah jika menyebut daerah itu sebagai kunci perdagangan
laut antara barat dan timur.[16]
Laut
Bangka Belitung merupakan salah satu kawasan lintas perairan yang terletak di
rute perdagangan internasional Nusantara. Bukan hanya itu, dilihat dari segi
aspek potensi alam dan hasil buminya yang bernilai jual tinggi, dipandang mampu
memberikan kesejahteran bagi masyarakat dan minciptakan ketahanan ekonomi yang
menjadi penyokong terbentuknya suatu integrasi bangsa.
Posisi strategis Bangka Belitung,
sebagai satu kawasan bahari yang dilewati oleh kapal-kapal mancanegara,
sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai suatu wacana terkait upaya
menumbuhkembangkan dan mempererat persatuan bangsa. Berangkat dari sejarah
panjang kedua pulau ini, yang memang amat lekat dengan kultur multikulturalismenya,
menjadi landasan kuat mengapa pulau-pulau ini tepat untuk dijadikan visi
merajut persatuan berbasiskan tradisi serta budaya masyarakatnya.
Terhamparnya
ladang timah, dan keberhasilan membudidayakan varietas lada yang laris, baik di
pasaran lokal maupun internasional, menjadi realitas lain penyokong suburnya
iklim keberagaman budaya disana. Kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi,
menjadi kebutuhan vital dalam membangun iklim bermasyarakat yang penuh dengan
ketentraman dan keamanan. Kondisi ini, patut untuk dijadikan alternatif contoh
bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam upaya mengintegrasikan potensi alam
dengan wawasan kesatuan bangsa.
Tidak
bisa dipungkiri, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki keadaan alam,
potensi strategis perekonomiaan dan letak geografis yang berbeda. Namun bagitu,
hendaklah perbedaan-perbedaan fisik tersebut janganlah dianggap sebagai hambatan
utama dalam merajut keterpaduan dalam berbangsa dan bernegara.
Seperti Soekarno, kawasan Nusantara merupakan
ruh terbentuknya suatu kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebutlah yang
menjadi titik tolak bagi bangsa Indonesia dalam rangka membahas batas-batas
wilayah yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei
dan lain-lain.[17] Hal
itulah yang dimaksud dengan integrasi bangsa.
Penutup
Bangka
Belitung, merupakan daerah kawasan bahari yang merupakan jalur lintas
perdagangan internasional. Dengan berbagai macam keindahan biota lautnya dan
kekayaan alamnya seperti timah dan lada, ditambah dengan keanekaragaman
masyarakatnya yang majemuk, menambah eksotisme tersendiri dari pulau ini.
Keanekaragaman
suku bangsa yang hidup disana selama berabad-abad, menjadikan Bangka Belitung
sebagai salah satu provinsi yang berhasil memadukan budaya yang saling berbeda
ke dalam kesatuan bangsa, dalam hal ini NKRI. Selain itu, integrasi bangsa yang
berhasil dirawatnya, disokong pula oleh kondisi ekonomi yang stabil. Lada dan
timah, sejak berabad-abad yang lampau hingga hari ini menjadi komoditas khas yang
meningkatkan perekonomian warga.
Realitas
historis yang ada di Bangka Belitung berpotensi menjadikannya sebagai salah
satu percontohan daerah yang berhasil merawat potensi alam serta sosialnya.
Tidak bisa dipungkiri, negeri ini membutuhkan figur daerah yang tepat, sebagai
motivator keseriusan merawat budaya keragaman ditunjang dengan perekonomian
strategis. Dua unsur tersebut terdapat dalam jati diri Bangka Belitung.
Daftar Pustaka
Al-Quran
dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65, (Bandung; Departemen Agama, 1992).
Dhaenuderadjat,
Endjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok: Gramata
Publishing, 2009).
Marsden,
William, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas
Bambu, 2008).
Shadily,
Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat
(Jakarta; Rineka Cipta, 1993).
Supangan,
Agus, Sejarah Maritim Indonesia
(Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Suroyo,
Agustina Magdalena Djuliati, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah”
(laporan), tertanggal 9 Februari 2002.
Tangkilisan,
Yuda B.,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan
pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung,
pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
Tim
Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
Utomo,
Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai
Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007).
Vlekle,
Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer
Gramedia, 2008).
On
Line
www.kompas.co.id
www.eprints.undip.ac.id.
[1] Penulis adalah
mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia
(Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004) hlm 130.
[3] William Marsden, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas
Bambu, 2008) hlm 138-139.
[4] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 159.
www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=23&kategori=info%20Budaya
dan www.bangkapos.com.
[6] Bernard H. M. Vlekle,
Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia,2008) hlm.
137.
[7] Yuda B.
Tangkilisan,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah
disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka
Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
[8] Bambang Budi Utomo, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara
(Jakarta; Kemendikbud, 2007) hlm. 94-97.
[9] Hassan Shadily,Sosiologi Untuk Masyarakat
(Jakarta;Rineka Cipta,1993) hlm. 205-206.
[10] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 262.
[11] Marsden,Sejarah Sumatra…, hlm. 263.
[12] Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai …, hlm. 125-126
[13] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia
(Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
[14] Al-Quran dan
Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65 (Bandung ; DEPAG, 1992), hlm 341.
[15] Agustina Magdalena
Djuliati Suroyo, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal
9 Februari 2002. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id,Pukul 20.00tanggal
3 Oktober 2013.
[16] Agus Supangan, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2003) hlm. 56.
[17] Endjat
Dhaenuderadjat, Sejarah Wilayah
Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok,Gramata Publishing, 2009) hlm
83. Perairan Bangka
Belitung sebagai Pembentuk Integritas Bangsa
Oleh: Yusuf Yordan[1]
Pengantar
Pada
hakikatnya, Republik Indonesia adalah suatu negara yang terbentang luas dengan
banyak berjajar pulau. Selain itu, Indonesia juga kaya akan bahasa, budaya dan
suku bangsa. Kepulauan Indonesia juga memiliki posisi yang sangat strategis,
disamping diapit oleh dua benua, yaitu Asia dan Australia. Kepulauan Ini juga
terletak diantara dua samudra, yaitu pasifik dan Indonesia. Oleh karena itu,
posisi kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan
antarbangsa. Aspek kelautannya merupakan integrator dari ribuan pulau yang
terpisah-pisah itu.
Berbicara
tentang kepulauan Indonesia, salah satu yang paling mengesankan adalah
bentangan peradaban bahari yang telah menjadi karakteristik bangsa ini selama
berabad-abad. Dengan berjajarnya pulau-pulau serta alam lautnya merupakan
penopang dari beragam bentuk tradisi serta budaya yang bermuara pada integrasi negara.
Dengan adanya laut, orang dapat saling berjumpa dan berinteraksi.
Satu wilayah bahari yang tak boleh
lekang dari masalah perbincangan perairan di Indonesia, adalah mengenai
perairan Bangka-Belitung. Pada setiap masanya, daerah ini memiliki karakteristik
panorama alam serta bentangan sejarah yang majemuk. Tak ayal, dengan latar
belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi
suatu pemikiran yang perlu diperhatikan.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan memaparkan hal-hal apa saja tentang
Bangka Belitung dari berbagai aspek, yaitu mulai dari letak geografisnya hingga
kemajemukan masyarakatnya. Mengenai Bangka Belitung yang menjadi memori
kolektif pembentuk integritas bangsa.
A.Bangka Belitung dalam
Sejarah
Sumber:
//http//pangkalpinang.bpk.go.id.
Bangka
Belitung merupakan suatu provinsi yang terletak di pulau Sumatra. Sebelumnya, provinsi ini merupakan bagian dari salah satu
provinsi di Sumatra, yaitu Sumatra Selatan yang kemudian telah diresmikan menjadi
provinsi tersendiri pada tahun 2000. Kepulauan Bangka Belitung sendiri terdiri
atas pulau-pulau kecil, seperti pulau Pongok, pulau Lepar dan pulau Mendanau. Tercatat
hanya 50 pulau yang dihuni oleh masyarakat dari total berjumlah 470 pulau. Hanya
saja, sebagai penopang dari banyaknya pulau-pulau tersebut ialah Pulau Bangka
dan Pulau Belitung.
Provinsi
Bangka Belitung terletak pada 104
derajat 50o sampai 108 derajat 18o bujur timur dan 1
derajat 20o sampai 3 derajat 15o. Oleh karena letak
geografis seperti itulah yang membuat sebagian besar kepulauan Bangka Belitung
berupa daerah dataran rendah. Dengan daerah pantainya yang hampir sebagian
besar langitnya berawan. Beberapa bukit kecil tersembul berada disana-sini,
terutama dibagian tengah pulau itu.
Luas
wilayah Kabupaten Bangka kurang lebih sebesar 3.028.794 Km2. Secara
tidak langsung, wilayah kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan wilayah
kota lainnya di provinsi kepulauan Bangka Belitung, yaitu wilayah kota Pangkal
Pinang, kabupaten Bangka Tengah dan kabupaten Bangka Barat. Pulau Bangka sendiri juga
memiliki luas sekitar 11.475 Kilometer Persegi.
Seperti di Indonesia pada umumnya, keadaan alam kepulauan
Bangka Belitung bisa dibilang memiliki iklim tropis kalau dilihat dari aspek
cuaca dan keiklimannya, dengan variasi hujan antara 43,6 mm hingga 360,2 mm
setiap bulannya, dengan suhu rata-tara 26 derajat celcius hingga 30 derajat
celcius setiap tahunnya. Tanah yang dimiliki di daerah Bangka Belitung juga
sebagian kurang bagus untuk jenis tanaman tertentu. Hanya sebagian kecil saja
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam.[2]
Bangka
Belitung juga terkenal sebagai pulau penghasil timah dan lada. Daerah ini juga
merupakan bagian dari “sabuk timah” Yang membentang dari Thailand, Malaysia,
sampai ke Bangka Belitung, Singkep dan daerah Nusantara lainnya. Penduduk
setempat juga menanam pelbagai jenis lada, antara lain ada yang bernama lada kawur,
lada manna dan lada putih.
Tetapi
dari setiap lada yang dihasilkan, mempunyai keunggulannya masing-masing. Lada
putih memiliki kwalitas yang lebih superior dibandingkan dengan lada lainnya.
Oleh karena itu, lada putih berharga lebih mahal dibandingkan dengan lada
lainnya.[3]
Dari segi kekayaan alam selanjutnya yang dihasilkan oleh kepulauan Bangka
Belitung ialah timah. Komoditas ini merupakan suatu sumber kekayaan alam yang
penting, karena selain sebagai salah satu komoditas utama, timah juga banyak
yang dieskpor ke luar-luar negeri, terutama Cina dan negara Asia lainnya.[4]
Aspek
dari sejarah Bangka Belitung merupakan suatu kepulauan yang banyak mengalami
kepemerintahan kerajaan-kerajaan. Tercatat pada Abad ke-7, Kerajaaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit pernah mendiami wilayah-wilayah Bangka Belitung.
Sehingga sekitar tahun 1365 dimana masa kejayaan Kerajaan Majapahit sedang
berada pada puncak kejayaannya, kepulauan Bangka menjadi salah satu benteng
pertahanan laut kerajaan tersebut. Tetapi tidak lama pulau ini berhasil ditaklukan
oleh Palembang sekitar abad ke-15 dibawah kepemimpinan Cakradiningrat II.
Seiring
berjalannya waktu, kepulauan ini mengalami perpindahan kekuasaan dari tangan
penguasa baru. Kurang lebih abad ke-15, disamping Bangka Belitung sendiri sudah
berhasil ditaklukkan oleh Palembang, disana sudah terbentuk pula suatu kerajaan
baru yang bernama kerajaan Badau, yang kala itu dipimpin oleh raja pertamanya
yang bernama Datuk Mayang Geresik. Sebagai ibukota kerajaannya, dipilihlah daerah
Pelulusan lah sebagai pusat pemerintahanya saat itu. Kota-kota yang dikuasai oleh
kerajaan Badau cukup banyak. Mulai dari daerah Badau, Simpang Tiga, Bange,
Manggar dan Gantung.[5]
Baru
pada abad ke-17, pulau Bangka Belitung banyak disinggahi oleh para
pedagang-pedagang Gujarat yang notabene
berasal dari bangsa Arab dan Cina. Memang, sejarah pulau Bangka tidak dapat dilepaskan
keterkaitannya dengan Tiongkok, terutama ketika banyak berdatangan para migran
dari Tiongkok ke pulau ini. Melihat dari sejarah kedatangan para migran
Tionghoa di Pulau Bangka, ternyata budaya bedol desa juga sudah dikenal di
kalangan masyarakat Tionghoa. Setidaknya, masyarakat Tionghoa di pulau Bangka
yang hidup di masa-masa selanjutnya, adalah terbentuk dari praktik bedol desa
yang menurut catatan Belanda berlangsung sejak awal abad ke-18 atau sekitar
tahun 1710 Masehi.
Seiring
berjalannya waktu, keturunan Tionghoa atau bangsa Cina yang lahir dan pernah
tinggal di Bangka Belitung namun
kemudian kembali lagi ke Tiongkok dan melakukan kunjungan ke Bangka Belitung dalam
rangka bertemu dengan keluarga sekaligus mengenang tanah kelahirannya. Kunjungan
para keturunan Tiongkok tersebut merupakan peluang untuk mempromosikan obyek
wisata yang banyak terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Oleh
karena itu, kepulauan Bangka Belitung mempunyai objek wisata yang sangat
menarik dan menawan. Seperti perkebunan lada, sawit maupun karet, wisata alam,
maupun wisata sejarah dan budaya yang berkaitan dengan budaya Tiongkok/Cina
seperti ritual “sembahyang rebut” (Chit Ngiat Pan) dan Imlek. Pengembangan
kampung Gedong sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dapat menjadi daya
tarik tersendiri bagi warga keturunan Cina yang masih mempunyai keterikatan
dengan Bangka untuk mengunjungi tanah kelahiran maupun sanak saudara sekaligus
bernostalgia.
Selain
Bangsa-bangsa itu, pada tahun 1668 Bangsa Belanda mencoba menjajaki perdagangan
di Belitung dengan cara berdagang, walaupun tidak mendapat keuntungan yang
besar disana. Tetapi dengan cara seperti itulah bangsa Belanda juga mengetahui dan
mengenal kepulauan Belitung. Konsepnya dengan cara berlayar dan berlabuh di
suatu pesisir pantai barat daya yang disebut Sungai Balok, yang pada saat itu
merupakan pelabuhan yang sering disinggahi oleh para pedagang-pedagang asing.[6]
Selanjutnya,
dalam sejarah kemaritiman pulau Bangka Belitung satu hal yang patut
digarisbawahi adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut Nusantara telah
terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagaskar dan
Australia. Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan
Indonesia menjadi jalur transpotasi laut yang penting dalam pelayaran dunia.
Terkait
dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak
kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam
bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra,
penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting
dalam kemajuaan jaringan perdagangan internasional Bangka Belitung.
Melalui
pelayaran dan perdagangan, pelbagai tempat saling bersentuhan dan saling
mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya. Apalagi kepulauan Bangka Belitung
sendiri terletak diantara silang pelayaran dan perdagangan antar wilayah yang
berpusat di Kanton, Cina. Sejak awal masehi, kepulauan Indonesia telah terlibat
di dalam dinamika itu.
Memang
secara geografis, pelayaran dan perdagangan itu melintasi beberapa jalur di
kepulauan Indonesia dalam upaya mencapai Kanton guna meraup keuntungan. Termasuk
pulau Bangka Belitung, yang masih tergolong pulau terdepan perairan Nusantara,
sejumput keprihatinan muncul yang berkenaan dengan perhatian terhadap penulisan
sejarahnya. Historiografi Bangka Belitung, memang tergolong masih jarang
ditulis oleh sejarawan.
Pulau
ini, dalam kaitan sumber daya tambang berupa timah, kerap dikaitkan dengan
pulau tetangganya, Bangka Keduanya dahulu merupakan bagian administratif dari
Palembang. Oleh karena itu, gambaran tentang masa lalu pulau itu tidak lebih
daripada bagian perkembangan Palembang. Sehubungan itu, inisiatif dan upaya
menyibak masa lampau pulau dan masyarakat Belitung perlu disambut baik dan
diberi dukungan penuh demi penulisan Sejarah Indonesia yang utuh dan
terintegrasi.[7]
B.
Laut sebagai Persatuan Nasional
Membahas
tentang penjelajahan kelautan di Nusantara, dalam perjalanan waktu, mengalami
era gelombang evolusi pelayaran dunia. Nusantara yang dikenal sebagai negara
kepulauan secara geografis sangat terbuka untuk siapa saja dari segala penjuru dunia
untuk mengirim dan menerima kebudayaan melalui jalur laut. Laut sendiri merupakan
akses teansportasi penting bagi masyarakat lintas pulau di Nusantara.
Melalui tradisi pelayaran, terjalinlah
suatu informasi dan komunikasi antarsuku bangsa yang membentuk suatu integrasi
bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk bukti tersebut dapat diketahui sendiri dengan
adanya bangunan-bangunan penduduk pelayaran seperti; pelabuhan, perbengkelan
perahu dan kapal serta bangunan lainnya.[8]
Rasa
dan tali persaudaraan sosial sangatlah kental dan terpelihara di Bangka
Belitung. Baik di kota maupun di desa. Keadaan di desa mempunyai kondisi
kekerabatan yang lebih terjaga diantara masyarakatnya, dibanding di
perkotaannya. Kolektivisme itu sendiri terlihat dari sikap gotong royong yang
dilakukan oleh masyarakat pribumi yang telah menjadi adat istiadat daerah setempat.
Contoh kecil dari sikap gotong
royong dari masyarakat setempat ialah, jika masyarakat setempat ingin membangun
sebuah aula atau rumah, orang-orang di sekitar lingkungannya bahkan dari desa
lain datang dan serentak langsung mambantu guna menyelesaikan bangunan tersebut.
Bantuan mereka bersifat sukarela, tanpa mengharapkan imbalan, karena mereka tahu
apabila mereka ingin membangun hal yang sama atau sebagainya semua organisasi masa
pasti membantunya.
Memang, rasa kesosialan yang
demikian tidak dapat diukur dengan pandangan sebelah mata. Pola dasar hidup
gotong royong telah menjadi unsur penting pembangun visi persatuan di tengah
masyarakat Indonesia. Perbedaan status sosial, agama, pangkat, maupun ras,
seakan telah luntur dan menjelma menjadi suatu semangat kerukunan dalam
membangun mental dan etos kerakyatan.
Gotong royong yang dimaksud disini
yaitu dilihat sebagai suatu alat in-group.
Istilah ini berhubungan dengan
komunikasi mendalam yang mengikat golongan-golongan itu. Bukan mengikat anggota-anggota
luar yang terkadang harus memberi imbalan untuk suatu pengorbanan atau
pertolongan terhadap orang-orang desa terhadap suatu desa.[9]
“Gotong royong masyarakat”
Tradisi
atau kebudayaan ialah keseluruhan dari hasil pengembaraan batin, intelektual,
maupun rasa estetika (keindahan). Manusia yang hidup bermasyarakat, sudah
barang tentu memiliki suatu kearifan lokal yang khas dan berbeda dengan kelompok
masyarakat lainnya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan budaya serta
penghayatan tradisi yang memadai, berarati telah turut pula menjaga ketahanan
negara dan bangsanya, khususnya terkait kekayaan khazanah intelektualnya.
Kebudayaan
dipelajari dari golongan atau masyarakat dalam kehidupan bersama dan tidak
dilahirkan hanya berkutat pada sifat biologis atau karena naluri. Umpamanya terdapat
pada masyarakat semut atau burung manyar dan gelatik untuk membuat sanggarnya
tanpa belajar.
Memasuki
era kehidupan beraksara, manusia pun telah mencerap suatu pembaruan yang
radikal di ruang publiknya. Masing-masing bangsa dari pelbagai belahan negeri
memiliki ciri khas tradisi dan kebudayaan masing-masing. Salah satu dari sekian
banyak kekhasan ini, ialah tradisi dari Bangka Belitung yang masih hidup dan
masih banyak dijumpai yaitu Tradisi Perang Ketupat.
Tradisi
tersebut merupakan tradisi asli masyarakat Bangka Belitung yang pada saat itu
belum adanya agama atau kepercayaan. Dengan tujuan memanggil roh halus dan memerangi
roh-roh halus yang jahat yang kerap kali mengganggu masyarakat setempat.
Tradisi tersebut juga menggunakan metode upacara yang dipimpin oleh tiga orang dukun, yaitu dukun darat, dukun laut dan dukun yang paling sesepuh. Tujuan dari upacara sendiri ialah untuk memanggil para roh halus dan memberi makan kepada mereka dengan cara meletakkan di atas atap rumah yang terbuat dari kayu dan dilakukan dengan bergiliran. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, masuknya Islam di Bangka membuat tradisi tersebut berubah cara dan subtansinya. Walaupun tujuanya sama namun berbeda caranya.[10]
“Tradisi lempar
ketupat”sumber://http//www.forum.viva.co.id
Membicarakan
Islam berarti membicarakan kepercayaan, di Bangka Belitung sendiri banyak yang
menganut agama Islam dalam kata lain Islam merupakan agama yang mendominasi
masyarakat setempat, disamping penganut agama Kristen, Hindu, Budha maupun
aliran kepercayaan Kong Hu Cu. Agama merupakan salah satu hal yang sangat
penting. Agama merupakan suatu bentuk pemujaan terhadap Tuhan, baik secara
pribadi maupun umum. Misalnya dengan melakukan persembahan korban, pertemuan,
prosesi dan lain-lain itu merupakan suatu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.[11]
Bertitik tolak dari kenyataan sejarah, masuknya Islam sendiri ke
Sumatera tepatnya Sumatra Selatan yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya, adalah
melalui pulau Bangka yang waktu itu masih
merupakan bagian dari Palembang. Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya
kemiripan kebudayaan yang telah berkembang di Malaka dan Bangka. Kemiripan
tersebut dapat diidentifikasi pada beberapa simbol budaya dan jenis permainan,
seperti tampes yaitu sejenis kopiah dan baju teluk belanga dan munculnya jenis
permainan sepak raga yang dibuat dari rotan sagak.
Dalam
struktur perekonomiannya kepulauan Bangka Belitung sendiri memiliki sektor kelautan
dan pertanian yang paling dominan dibandingkan sektor yang lainnya seperti
penambangan atau industri. Oleh karena itu, dengan keadannya yang seperti itu,
sudah seharusnya pembangunan ekonomi di provinsi ini berpihak kepada
pembangunan perekonomian rakyat. Terutama di daerah pedesaan, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Lingkungan
hidup yang begitu dekat dengan laut telah mendorong penduduk pantai di wilayah
Bangka Belitung untuk mengembangkan suatu cara hidup yang sedikit banyak besifat
maritim. Nelayan merupakan profesi sebagian besar masyarakat yang hidup di
dekat laut. Baik mengarungi laut dengan menggunakan perahu besar demi mencari
ikan, atau menggunakan perahu kecil untuk laut yang dangkal, tergantung kebutuhan
dan alat-alat yang mereka punya.[12]
Kehidupan
para nelayan sendiri di Bangka atau pada umumnya di Indonesia, tidaklah dikategorisasikan
sebagai mata pencarian suku bangsa-suku bangsa tertentu saja, akan tetapi bisa
dikatakan sebagai mata pencaharian bagi seluruh suku bangsa Indonesia yang pada
umumnya tinggal di tepi pantai dan laut. Dengan laut sebagai media atau mata
pencariannya dan nelayan sebagai pekerjaanya.
“Nelayan”
Sumber://http//www.antarbabel.com
Secara
keseluruhan, nelayan di Indonesia tampaknya ada beberapa suku bangsa yang
memang menjadikan mata pencarian dan mengandalkan laut sebagai jati diri suatu
suku bangsa yang bersangkutan. Memang secara tidak langsung semua berkaitan
dengan suku bangsa tersebut sehingga secara mitologis bercerita tentang laut
beserta isinya.
Disamping
itu, selain keindahan pulau Bangka sendiri, perairan pulau Bangka pun banyak
menarik perhatiaan kelompok nelayan di luar daerah tersebut, oleh karena ikannya
yang beragam dan juga keindahan biotiknya yang menawan. Misalnya kaum nelayan
suku Bugis. Pada mulanya mereka hanya sekedar datang pada waktu panen ikan,
tetapi lama-kelamaan mereka kemudian menetap dan membaur dengan masyarakat
setempat sampai-sampai membuat perkampungan sendiri.
Pada
intinya laut merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut orang dapat
mengeksploitasikan sumber daya biota lautnya dan kegiatan-kegiatan kemaritiman
yang menjanjikan secara ekonomis. Pada mulanya hanya bertujuan untuk mencari
hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan
kesejahteraan sendiri atau kata lainnya untuk membangun kekayaan dan kejayaan
dalam bidang kemaritiman.
Seperti
yang kita ketahui, dalam sektor perekonomian, selain usaha dagang yang
dilakukan oleh masyarakat Bangka beraneka ragam. Selain nelayan, masyarakat
lain juga ada yang memiliki profesi yang berbeda, seperti buruh penambangan dan
lain-lain. Seperti yang kita ketahui, pulau Bangka sendiri adalah pulau
penghasil timah, dengan banyaknya penggalian dimana-mana baik di daratan maupun
di lepas pantai. Oleh karena itu buruh penambangan menjadi pekerjaan yang
banyak dilakoni oleh masyarakat setempat baik di kota maupun masyarakat desa
yang berada di perkampungan dan lepas pantai.[13]
Dengan
keterbukaan masyarakat Bangka atas pendatang baru itulah yang membuat pulau ini
bercorak heterogen. Di pulau ini juga banyak terdapat berbagai jenis suku
bangsa. Mereka membaur, berkembang dan tetap menjaga budaya mereka
masing-masing. Di samping orang-orang dari suku Bugis, suku Madura, suku Butun,
terdapat suku Jawa, Bali dari daratan Sumatera (Medan, Aceh, Palembang, Padang dan
lain-lain), Ambon dan sebagainya.
Dalam
masyarakat majemuk yang seperti itulah, yang membuat segala gerak langkah
kehidupan berkisar pada usaha pencaharian nafkah. Setiap individu tampaknya
selalu sibuk dan giat bekerja. Komplek perumahan karyawan yang dibangun di sekitar
pertambangan yang kadang jauh terpisah dari kampung-kampung, membawa corak atau
bentuk kehidupan yang lain. Tetapi hal yang nampaknya seperti pemencilan ini
ternyata tidak pernah membawa pengaruh atau menimbulkan hal-hal yang negatif
oleh karena komunikasi selalu terpelihara dengan baik.
C. Peran Laut Bangka
Belitung sebagai salah satu Perekat Nusantara
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي
الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا
بِإِذْنِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya ; Apakah kamu tiada melihat bahwasanya
Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di
lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada Manusia.[14]
Keberadaan
laut khusunya laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik
Indonesia jelas merupakan sesuatu yang sangatlah janggal. Bagaimana pun
penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga
tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai
pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul suatu integrasi yang awalnya dimulai
dari intensitas mereka dalam pergaulan antarpulau, yang terjalin lewat
perdagangan.
Integrasi
pada dasarnya merupakan suatu penyatuan wilayah dalam sebuah negara yang
berdaulat. Secara umum integrasi menggambarkan suatu proses persatuan dan
kesatuan orang- orang dari berbagai wilayah yang berbeda, walaupun memiliki berbagai
perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi.[15]
Menjadi
salah satu negara kepulauan. Indonesia sendiri merupakan kawasan kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Secara
fisik memang antara satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut,
tetapi dilihat dari sisi kemaritiman perpisahan itu tidak pernah ada karena
seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan
ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat
integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara sosialis,
ekonomis dan kultural.
Secara geografis, memang kepulauan Nusantara
sangatlah strategis sebagai jalur perdagangan internasional, yakni diantara dunia
barat dan dunia timur. Misalanya dari sisi barat, banyak kapal-kapal
berdatangan dari Persia, India, Mesir dan negara-negara Eropa. Sedangkan dari
sisi timur meliputi negeri Jepang, Cina dan Filipina. Dengan latar belakang
itu, maka tidaklah salah jika menyebut daerah itu sebagai kunci perdagangan
laut antara barat dan timur.[16]
Laut
Bangka Belitung merupakan salah satu kawasan lintas perairan yang terletak di
rute perdagangan internasional Nusantara. Bukan hanya itu, dilihat dari segi
aspek potensi alam dan hasil buminya yang bernilai jual tinggi, dipandang mampu
memberikan kesejahteran bagi masyarakat dan minciptakan ketahanan ekonomi yang
menjadi penyokong terbentuknya suatu integrasi bangsa.
Posisi strategis Bangka Belitung,
sebagai satu kawasan bahari yang dilewati oleh kapal-kapal mancanegara,
sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai suatu wacana terkait upaya
menumbuhkembangkan dan mempererat persatuan bangsa. Berangkat dari sejarah
panjang kedua pulau ini, yang memang amat lekat dengan kultur multikulturalismenya,
menjadi landasan kuat mengapa pulau-pulau ini tepat untuk dijadikan visi
merajut persatuan berbasiskan tradisi serta budaya masyarakatnya.
Terhamparnya
ladang timah, dan keberhasilan membudidayakan varietas lada yang laris, baik di
pasaran lokal maupun internasional, menjadi realitas lain penyokong suburnya
iklim keberagaman budaya disana. Kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi,
menjadi kebutuhan vital dalam membangun iklim bermasyarakat yang penuh dengan
ketentraman dan keamanan. Kondisi ini, patut untuk dijadikan alternatif contoh
bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam upaya mengintegrasikan potensi alam
dengan wawasan kesatuan bangsa.
Tidak
bisa dipungkiri, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki keadaan alam,
potensi strategis perekonomiaan dan letak geografis yang berbeda. Namun bagitu,
hendaklah perbedaan-perbedaan fisik tersebut janganlah dianggap sebagai hambatan
utama dalam merajut keterpaduan dalam berbangsa dan bernegara.
Seperti Soekarno, kawasan Nusantara merupakan
ruh terbentuknya suatu kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebutlah yang
menjadi titik tolak bagi bangsa Indonesia dalam rangka membahas batas-batas
wilayah yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei
dan lain-lain.[17] Hal
itulah yang dimaksud dengan integrasi bangsa.
Penutup
Bangka
Belitung, merupakan daerah kawasan bahari yang merupakan jalur lintas
perdagangan internasional. Dengan berbagai macam keindahan biota lautnya dan
kekayaan alamnya seperti timah dan lada, ditambah dengan keanekaragaman
masyarakatnya yang majemuk, menambah eksotisme tersendiri dari pulau ini.
Keanekaragaman
suku bangsa yang hidup disana selama berabad-abad, menjadikan Bangka Belitung
sebagai salah satu provinsi yang berhasil memadukan budaya yang saling berbeda
ke dalam kesatuan bangsa, dalam hal ini NKRI. Selain itu, integrasi bangsa yang
berhasil dirawatnya, disokong pula oleh kondisi ekonomi yang stabil. Lada dan
timah, sejak berabad-abad yang lampau hingga hari ini menjadi komoditas khas yang
meningkatkan perekonomian warga.
Realitas
historis yang ada di Bangka Belitung berpotensi menjadikannya sebagai salah
satu percontohan daerah yang berhasil merawat potensi alam serta sosialnya.
Tidak bisa dipungkiri, negeri ini membutuhkan figur daerah yang tepat, sebagai
motivator keseriusan merawat budaya keragaman ditunjang dengan perekonomian
strategis. Dua unsur tersebut terdapat dalam jati diri Bangka Belitung.
Daftar Pustaka
Al-Quran
dan Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65, (Bandung; Departemen Agama, 1992).
Dhaenuderadjat,
Endjat, Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok: Gramata
Publishing, 2009).
Marsden,
William, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas
Bambu, 2008).
Shadily,
Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat
(Jakarta; Rineka Cipta, 1993).
Supangan,
Agus, Sejarah Maritim Indonesia
(Semarang: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Suroyo,
Agustina Magdalena Djuliati, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah”
(laporan), tertanggal 9 Februari 2002.
Tangkilisan,
Yuda B.,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah disampaikan
pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka Belitung,
pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
Tim
Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
Utomo,
Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai
Pemersatu Nusantara (Jakarta; Kemendikbud, 2007).
Vlekle,
Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer
Gramedia, 2008).
On
Line
www.kompas.co.id
www.eprints.undip.ac.id.
[1] Penulis adalah
mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia
(Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004) hlm 130.
[3] William Marsden, Sejarah Sumatra (Jakarta; Komunitas
Bambu, 2008) hlm 138-139.
[4] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 159.
www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=23&kategori=info%20Budaya
dan www.bangkapos.com.
[6] Bernard H. M. Vlekle,
Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Perpustakaan Populer Gramedia,2008) hlm.
137.
[7] Yuda B.
Tangkilisan,”Belitung dalam Lintas Sejarah Maritim Indonesia”, makalah
disampaikan pada Seminar Persiapan Pendirian Museum Maritim di Kabupaten Bangka
Belitung, pada tanggal 23 Juli 2009, di Bangka Belitung.
[8] Bambang Budi Utomo, Pandangan Laut Sebagai Pemersatu Nusantara
(Jakarta; Kemendikbud, 2007) hlm. 94-97.
[9] Hassan Shadily,Sosiologi Untuk Masyarakat
(Jakarta;Rineka Cipta,1993) hlm. 205-206.
[10] Marsden, Sejarah Sumatra…, hlm 262.
[11] Marsden,Sejarah Sumatra…, hlm. 263.
[12] Bambang Budi, Pandangan Laut Sebagai …, hlm. 125-126
[13] Tim Penulis, Ensiklopedia Nasional Indonesia
(Jakarta; PT.Delta Pamungkas, 2004).
[14] Al-Quran dan
Terjemahanya, Surat Al-Hajj Ayat 65 (Bandung ; DEPAG, 1992), hlm 341.
[15] Agustina Magdalena
Djuliati Suroyo, “Integrasi sejarah dalam perspektif sejarah” (laporan), tertanggal
9 Februari 2002. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id,Pukul 20.00tanggal
3 Oktober 2013.
[16] Agus Supangan, Sejarah Maritim Indonesia (Semarang: Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2003) hlm. 56.
[17] Endjat
Dhaenuderadjat, Sejarah Wilayah
Perbatasan Batam-Singapura 1824-2009 (Depok,Gramata Publishing, 2009) hlm
83.
0 comments:
Post a Comment