Thursday, 22 May 2014

Ahklak Tasawuf
Konsep Pemikiran Tasawuf


Oleh: Yusuf Yordan 
(1112022000008)



A.Wahdatul Wujud
Salah satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran tentang wihdatul wujud. Pemikiran kontroversi ini dikemukakan oleh ibnu Arabi. Sekaligus ia merupakan pemimpin dan pendiri aliran ini. Aliran yang berdiri pada tahun-tahun pertama abad ke-7 H ini berumur lebih kurang dua abad.
Secara bahasa Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[1] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat di bagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Adapun mengenai maksud kata “wujud” (being, al-wujud) dan perkataan, “Tuhan Adalah Wujud Mutlak” (Allah huwa al-wujud al-haqq), A.E. Affii Menjelaskan bahwa ada dua pengertian yang berbeda dalam memahami istilah “wujud”.Pertama, sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud” eksistensi (wujud bi al-ma’na al-masdari) atau kedua dapat berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsits/wujud bi al-ma’na maujud). Jadi, istilah “Wujud Mutlak” (Al-wujud Al-Mutlaq) atau “wujud universal” (Al-Wujud Al-Kulli). Yang digunakan ibnu Arabi dan murid-muridnya adalah menunjukkan suatu realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada.
Pengertian wahdatul yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, karena dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul di ubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan paham kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir/ luar /tampak), dan al-batin (dalam, tidak tampak).[2] 
Inti ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung pada tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari yang satu (tuhan). Seandainya tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lainpun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Wahdatul Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
B.Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.” Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.
Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[3] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lainnya, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah (Nuktah Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
C. Mahabbah
                Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam . Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd (benci).[4] Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.[5]
            Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .
            Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.[6] Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”.[7]
            Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[8] Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.[9]
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1.    Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.
A. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah.
B. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
C. Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[10]
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah ini.
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
 Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
D. Filsafat Iluminasi
            Selanjutnya konsep Filsafat Iluminasi yang dibangunnya juga merupakan sebuah kritik epistemologis terhadap kaum paripatetik yang selalu mengajukan formula-formula dalam memahami hakikat ketuhanan. Kaum paripatetik selalu menggunakan ‘Ilm al-Hushuli sebagai epistemologinya, sementara itu bagi Suhrawardi epistemology kaum paripatetik tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (ma’qulat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.
Sementara itu untuk melawan epistemology kaum paripatetik, Suhrawardi memperkenalkan epistemology Hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran (observasi rohani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan musyahadat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhuri ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujahadat, riyadhat dan ‘ibadat dari pada memaksimalkan fungsi rasio, atau dengan kata lain ilmuh hudhuri lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.
Konsep epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut Suhrawardi, cahaya adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi lagi karena ia sudah terang dengan sendirinya. Selanjutnya cahaya ini terbagi pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-Aridh yang merupakan cahaya yang tidak mandiri.
Konsep epistemologis inilah yang akhirnya memberikan pengetahuan pada manusia yaitu dengan memaksimalkan oleh dzikirnya agar tetap dekat dengan Tuhan atau Nur al-Anwar dan mendapatkan Iluminasi pengetahuan. Selain itu Suhrawardi menegaskan bahwa disamping ada dasar pengetahuan akan tetapi pengetahuan yang sebenarnya ialah sesuatu yang datang dari dalam dirinya sendiri dalam makna lahir dari pengenalan terhadap dirinya sendiri, hal inilah yang dalam ajaran tasawuf dikenal dengan ma’rifah. Dalam tradisi tasawuf, ma’rifah adalah konsep tertinggi dalam perjalanan manusia yang dalam hal ini juga berarti pengetahuan yang Ilahi. Dari sini cahaya dipancarkan kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya yaitu melalui pengungkapan tabir yang akhirnya terpatri dalam diri manusia dan dengan sadar menghilangkan keragu-raguan.






Daftar Pustaka
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir, Dar al-Kahir, 1978)
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedia Islam, Jambatan, (Jakarta,Juz II, 1992)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir, Dar al-Kairo, 1978)
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)



[1] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.492-494
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.92.
[3] Harun Nasution, dkk., Ensiklopedia Islam, Jambatan, Jakarta,Juz II, 1992, hal 77
[4] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439.
[5] Ibid.
[6] Jamil Shaliba, hlm. 440.
[7] Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth. hlm. 318.
[8] Ibid. Hal. 139
[9] Jamil Shaliba, hlm. 617
[10] Harun Nasution,hlm. 70.

1 comment:

  1. The Best New Apple Ciaran Leather - TITNIA
    The best new Apple Ciaran Leather titanium nitride coating service near me · In case you didn't know how, you have titanium quartz meaning the solo titanium razor choice of an dental implants Apple Ciaran samsung titanium watch Leather.

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!