Friday, 16 May 2014

Oleh : Yusuf Yordan
Bab I
Pengantar
                Menelaah perkembangan para cendikiawan muslim bak disadari dalam rentanan waktu sudah banyak menuai kegemilangan dan kemajuan di kancah dunia Islam. Ditengah carut marut masyarakat negeri ini zaman kekinian, ternyata masih tersimpan suatu akan ide maupun tindakan para leluhur yang telah meneliti era tersebut yang pengaruhnya tentu masih bias kita rasakan hingga sekarang.
            Satu tema yang tidak boleh lekang dari perbincangan para cendikiawan Islam adalah tokoh pemikiran filosof Ibnu Miskawaih yang sangat menarik kita bahas. Sebagai salah satu filosof muslim, Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam sejarah filsafat Islam.
Namun dalam kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang dapat dikenal dan diterima oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah cukup membuktikan bahwa dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim, seperti al-Kindi atau al-Farabi.
            Tak ayal, dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan. Guna mempermudah pembaca, penulisa akan memaparkan biografi Ibnu Miskawaih serta karya – karyanya dan pemikirannya;













Bab II
Isi
·        Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[1]Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al- Daullah.[2]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasahi secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[3]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[4]
Dari beberapa pernyataan Ibn Sina dan al-Tauhidi bahwa mereka menyatakan ia tak mampu berfilsafat sebaliknya Iqbal menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.[5]
·         Karya – Karya Ibnu Miskawaih
Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam
4. Uns al-Farid
5. Tartib al-Sa’adat
6. Al-Mustaufa
7.  Jawidan Khirad
8. Al-Jami’
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs
11. On the Composition of the Bajats
12. Al-Ashribah
13. Tahzib al-Akhlaq
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18. Thaharat al-Nafs.[6]


·        Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
1.       Hikmah dan Falsafah
Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya.  Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[7]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
 Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemauan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sangat sejalan dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya, kesempurnaan moral dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, maka dia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[8]
2.     Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz al-Ashghar;
A.Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[9] Menurut De Boer, Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.[10]
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa, timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.[11]
Berdasarkan pendapat Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan al-Farabi, sebagai berikut:
1. Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran daru sesuatu yang sudah ada menjadi ada.
2. Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi al-Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal pertama, sedangkan akal aktif adalah akal yang kesepuluh.
B. Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[12]
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.[13]
C. Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan, tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan dan dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang). Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang di dalamnya intelegensi mulai  menyatakan dirinya dalam sebuah skala yang meninggi. Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.[14]

3.     Etika atau Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.[15]
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.[16] Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[17] Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[18]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.[19] Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.[20]

4.     Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan setelahnya.[21]

5.     Politik
Mengutip pendapat Azdsher[22], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.[23]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[24]

6.     Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada dirinya.[25]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.[26]















Bab III
·        Kesimpulan
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Ini terbukti dari pernyataan para filosof yang pernah menjadi gurunya, yaitu Ibnu Sina dan At-Tauhidi, yang menganggapnya salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.
Usahanya untuk menjembatani antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani menghasilkan sebuah argumen yang tidak mendasar dan kurang dapat diterima. Banyak filsafatnya, seperti teori pembuktian Tuhan secara negatif atau emanasi mendapat kritikan dari banyak pemikir muslim. Filsafat Miskawaih pun patut diragukan karena hilangnya beberapa sumber yang dia pakai dalam mendukung tulisan-tulisannya. Sumber-sumber tersebut hanya dapat direka-reka.
Akan tetapi, filsafat Miskawaih dalam hal etika merupakan karya terbesar dalam sejarah Islam. Ini terbukti dari gelar yang dia dapat, yaitu Bapak Etika Muslim.
·        Kritik
          Pemikiran Miskawaih mengenai emanasi, bahwa dia meragukan kekuasaan Allah untuk menciptakan segala sesuatu sangat perlu dikritik. Pengaruh filsafat Yunani yang sangat besar pada pemikirannya membuatnya terlihat seperti meletakkan ketauhidan ajaran agama Islam di bawah filsafat Yunani. Sebagai muslim, Miskawi tentu mengerti bahwa kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta.
Seperti dalam surat Yaasin ayat 78 dan 79, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk...”
Sedang dalam etika, meskipun Miskawaih lebih cenderung memilih sumber dari ajaran agama Islam, dia cenderung lebih menggunakan istilah-istilah yang digunakan oleh para filosof Yunani. Penyusunan pemikiran yang kurang tepat akan menimbulkan kesan yang kurang tepat pula. Padahal, jika Miskawaih dapat menyusunnya dengan lebih tepat, niscaya ajaran agama Islam akan lebih dihormati oleh banyak kalangan.
Daftar Pustaka
·         DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.

·         M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan.

·         Mustofa, H. A., Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

·         Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.

·         Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

·         Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.

·         Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2010.

·         http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf



[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[2] DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication. Hlm.128
[3] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[4] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 127-128.
[5] M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan. Hlm.84
[6] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 128-129
[7] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[8] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 170
[9] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[10] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[11] Nasution, Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm. 59
[12] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[13] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[14] Nasution, Ibid, hlm. 60.
[15] Zar, Ibid, hlm. 135.
[16] Mustofa, Ibid, hlm. 177
[17] Nasution, Ibid, hlm. 61.
[18] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[19] Zar, Ibid, hlm. 135.
[20] Nasution, Ibid, hlm. 62.
[21] Nasution, Ibid, hlm. 66.
[22] Seorang raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[23] Mustofa, Ibid, hlm.186
[24] Ibid.
[25] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
[26] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.

1 comment:

  1. TERIMAKASIH ATAS MAKALAHNYA IZIN COPY YAA MAS/MBAK...

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!