Oleh : Yusuf Yordan
Bab I
Pengantar
Menelaah perkembangan
para cendikiawan muslim bak disadari dalam rentanan waktu sudah banyak menuai
kegemilangan dan kemajuan di kancah dunia Islam. Ditengah carut marut
masyarakat negeri ini zaman kekinian, ternyata masih tersimpan suatu akan ide
maupun tindakan para leluhur yang telah meneliti era tersebut yang pengaruhnya
tentu masih bias kita rasakan hingga sekarang.
Satu tema yang tidak boleh lekang
dari perbincangan para cendikiawan Islam adalah tokoh pemikiran filosof Ibnu
Miskawaih yang sangat menarik kita bahas. Sebagai salah satu filosof muslim,
Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam sejarah filsafat
Islam.
Namun
dalam kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang dapat dikenal dan
diterima oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah cukup membuktikan
bahwa dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim, seperti al-Kindi
atau al-Farabi.
Tak ayal, dengan latar belakang
demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu
pemikiran yang perlu diperhatikan. Guna mempermudah pembaca, penulisa akan
memaparkan biografi Ibnu Miskawaih serta karya – karyanya dan pemikirannya;
Bab II
Isi
·
Biografi
Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu
Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar
421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[1]Belum
bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu
dia sendiri.
Miskawaih
merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada
sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M).
Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia
menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang
besar dan bendahara negara.
Yakut
berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi
barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang
tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu
Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga
merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al- Daullah.[2]
Miskawaih
merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai
dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang
terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika
teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir
yang menguasahi secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[3]
Miskawaih
pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh
al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga
banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan
karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu
al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof
akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan
masyarakat pada masanya.[4]
Dari
beberapa pernyataan Ibn Sina dan al-Tauhidi bahwa mereka menyatakan ia tak
mampu berfilsafat sebaliknya Iqbal menganggapnya sebagai salah seorang pemikir
teistis, moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.[5]
·
Karya
– Karya Ibnu Miskawaih
Miskawaih
tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif.
Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya
tulisnya, yaitu:
1.
Al-Fauz al-Akbar
2.
Al-Fauz al-Asghar
3.
Tajarib al-Umam
4.
Uns al-Farid
5.
Tartib al-Sa’adat
6.
Al-Mustaufa
7. Jawidan Khirad
8.
Al-Jami’
9.
Al-Siyab
10.
On the Simple Drugs
11.
On the Composition of the Bajats
12.
Al-Ashribah
13.
Tahzib al-Akhlaq
14.
Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.
Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16.
Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17.
Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat
al-‘Aql
18.
Thaharat al-Nafs.[6]
·
Pemikiran
Filsafat Ibnu Miskawaih
1.
Hikmah dan Falsafah
Miskawaih membedakan pengertian antara
hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah
adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan
(mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya. Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui
perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan).
Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran
spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang
wajib ditinggalkan.[7]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih
membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis.
Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat
mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan
tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan
moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemauan
mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sangat sejalan
dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya, kesempurnaan moral dapat mengatur
hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.
Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, maka dia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[8]
2.
Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan
tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap,
metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz al-Ashghar;
A.Ketuhanan
Dalam
kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme.
Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani)
tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika
mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan
antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan
emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia
bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan
“Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan
argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[9] Menurut
De Boer, Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang
tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak
adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia
untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya.[10]
Mengenai
emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan
adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia
kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan
dengan perantaraan jiwa, timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus
dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika pancaran tersebut terhenti,
maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.[11]
Berdasarkan
pendapat Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan
al-Farabi, sebagai berikut:
1.
Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara emanasi dari tiada menjadi ada.
Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran daru sesuatu
yang sudah ada menjadi ada.
2.
Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi
al-Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal pertama, sedangkan akal aktif
adalah akal yang kesepuluh.
B. Jiwa atau Roh
Jiwa
yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat
diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat
material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat
menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa
dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi
hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala
sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[12]
Dalam
jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang
benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu
dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu
dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai
pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami
pancaindera.[13]
C. Kenabian
Dalam
hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan
al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh
hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya.
Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para
filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya
khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat
kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal
aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal
yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara
mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan
evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Kombinasi substansi-substansi
primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan,
tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai
mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan dan
dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan
hewan dan bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya
koral/batu karang). Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya
adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang
merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan
bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi,
yang di dalamnya intelegensi mulai menyatakan dirinya dalam sebuah
skala yang meninggi. Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami
perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan
daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan
bermula.[14]
3.
Etika
atau Akhlak
Paradigma
pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan
tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran
filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan
pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai
pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran
agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika
sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.[15]
Miskawaih
mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan
sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan.[16]
Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan
yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[17]
Kedua
watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[18]
Miskawaih
menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak
dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak
yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.[19]
Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa
kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.[20]
4.
Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan
cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau
dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau
negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya
mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan
organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah
memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan setelahnya.[21]
5.
Politik
Mengutip pendapat Azdsher[22], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan
kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side
or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama
merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa
landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan
sia-sia.[23]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya
syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak
dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling
dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui
batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama
menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi
kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya
untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja
yang adil.[24]
6.
Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih
menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan
terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka orang-orang terdahulu
akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya ruang tampung di bumi.
Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk belaka yang
pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya
dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan
kerusakan pada dirinya.[25]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia
harus memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara
untuk hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang dirasakan badan sebelum mati
merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan tersebut, sehingga tidak
akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah memahami
hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain
setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena
hukuman setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit
sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan
yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup
berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang
dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.[26]
Bab III
·
Kesimpulan
Disiplin
ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi,
dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Ini
terbukti dari pernyataan para filosof yang pernah menjadi gurunya, yaitu Ibnu
Sina dan At-Tauhidi, yang menganggapnya salah seorang pemikir teistis, moralis,
dan sejarawan.
Usahanya
untuk menjembatani antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani menghasilkan
sebuah argumen yang tidak mendasar dan kurang dapat diterima. Banyak
filsafatnya, seperti teori pembuktian Tuhan secara negatif atau emanasi
mendapat kritikan dari banyak pemikir muslim. Filsafat Miskawaih pun patut
diragukan karena hilangnya beberapa sumber yang dia pakai dalam mendukung
tulisan-tulisannya. Sumber-sumber tersebut hanya dapat direka-reka.
Akan
tetapi, filsafat Miskawaih dalam hal etika merupakan karya terbesar dalam
sejarah Islam. Ini terbukti dari gelar yang dia dapat, yaitu Bapak Etika
Muslim.
·
Kritik
Pemikiran
Miskawaih mengenai emanasi, bahwa dia meragukan kekuasaan Allah untuk
menciptakan segala sesuatu sangat perlu dikritik. Pengaruh filsafat Yunani yang
sangat besar pada pemikirannya membuatnya terlihat seperti meletakkan ketauhidan
ajaran agama Islam di bawah filsafat Yunani. Sebagai muslim, Miskawi tentu
mengerti bahwa kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta.
Seperti
dalam surat Yaasin ayat 78 dan 79, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan
dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh
Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang
segala makhluk...”
Sedang
dalam etika, meskipun Miskawaih lebih cenderung memilih sumber dari ajaran
agama Islam, dia cenderung lebih menggunakan istilah-istilah yang digunakan
oleh para filosof Yunani. Penyusunan pemikiran yang kurang tepat akan
menimbulkan kesan yang kurang tepat pula. Padahal, jika Miskawaih dapat
menyusunnya dengan lebih tepat, niscaya ajaran agama Islam akan lebih dihormati
oleh banyak kalangan.
Daftar
Pustaka
·
DR.
T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.
·
M.
M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan.
·
Mustofa, H. A., Filsafat Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.
·
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.
·
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat
Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.
·
Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.
·
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof
dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2010.
·
http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,
Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[2] DR. T. J. De Boer, The History Of
Philosophy in Islam, New York; Dover Publication. Hlm.128
[3] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,
Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[4] Zar,
Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada), hlm. 127-128.
[5] M. M. Syarif, M.A, Para Filosof
Muslim, Bandung, Mizan. Hlm.84
[6] Zar,
Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada), hlm. 128-129
[7] Mustofa,
H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[8] Mustofa,
H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 170
[9] Supriyadi,
Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[10] Supriyadi,
Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[11] Nasution,
Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm.
59
[12] Mustofa,
Ibid, hlm. 172-173.
[13]
Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[14] Nasution,
Ibid, hlm. 60.
[15] Zar,
Ibid, hlm. 135.
[16] Mustofa,
Ibid, hlm. 177
[17] Nasution,
Ibid, hlm. 61.
[18] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[19] Zar,
Ibid, hlm. 135.
[20] Nasution,
Ibid, hlm. 62.
[21] Nasution,
Ibid, hlm. 66.
[22] Seorang
raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[23] Mustofa,
Ibid, hlm.186
[24] Ibid.
[25] Mustofa,
Ibid, hlm. 183-185.
[26] Mustofa,
Ibid, hlm. 183-185.
TERIMAKASIH ATAS MAKALAHNYA IZIN COPY YAA MAS/MBAK...
ReplyDelete