Ahklak Tasawuf
Konsep
Pemikiran Tasawuf
Oleh: Yusuf Yordan
(1112022000008)
A.Wahdatul
Wujud
Salah
satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran
tentang wihdatul wujud. Pemikiran kontroversi ini dikemukakan oleh ibnu Arabi.
Sekaligus ia merupakan pemimpin dan pendiri aliran ini. Aliran yang berdiri
pada tahun-tahun pertama abad ke-7 H ini berumur lebih kurang dua abad.
Secara bahasa Wahdat
al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya
sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[1]
Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya
digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan
wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat di bagi-bagi pada bagian yang
lebih kecil. Adapun mengenai maksud kata “wujud” (being, al-wujud) dan
perkataan, “Tuhan Adalah Wujud Mutlak” (Allah huwa al-wujud al-haqq), A.E.
Affii Menjelaskan bahwa ada dua pengertian yang berbeda dalam memahami istilah
“wujud”.Pertama, sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud” eksistensi (wujud bi
al-ma’na al-masdari) atau kedua dapat berarti yang mempunyai wujud, yakni yang
ada (exist) atau yang hidup (subsits/wujud bi al-ma’na maujud). Jadi, istilah
“Wujud Mutlak” (Al-wujud Al-Mutlaq) atau “wujud universal” (Al-Wujud Al-Kulli).
Yang digunakan ibnu Arabi dan murid-muridnya adalah menunjukkan suatu realitas
yang merupakan puncak dari semua yang ada.
Pengertian
wahdatul yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh sufi, yaitu paham
bahwa antara manusia dan tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, karena
dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul di ubah menjadi khalq
(makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek
bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah
dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan paham kata al-‘arad
(accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir/ luar /tampak), dan
al-batin (dalam, tidak tampak).[2]
Inti
ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan
pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh
yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung
pada tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari yang satu
(tuhan). Seandainya tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang
lainpun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya
memiliki wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu
wujud tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Wahdatul
Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun
demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat
dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan
fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut
contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut
tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai
ulama alim.
B.Insan Kamil
Ajaran
tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna).
Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili
memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang
Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.” Sebagaimana
diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.
Proses
yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan
dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan
akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[3]
Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada
dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama
dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama
tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Lebih
lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan
kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk
dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil,
sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama
Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin
insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S
Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki
oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan
manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang
berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki
oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual
(bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam
intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam
diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lainnya, baik nabi-nabi ataupun
wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna)
dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan
al-afdhal (yang paling utama).
Insan
kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah (Nuktah Al-Haqq)
melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses
maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut
Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan
konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu
pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep
hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai
wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
C.
Mahabbah
Cinta atau yang dikenal
dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة, yang secara
bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam .
Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah
lawan dari kata al Baghd (benci).[4]
Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau
penyayang.[5]
Selain itu, al-mahabbah dapat pula
berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya
seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang
pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti
suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya
digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam
hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak
arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan
arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya
kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.[6]
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi
sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”.[7]
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada
hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan
rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat
yang melimpah.[8] Mahabbah
berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan
harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta
yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun
harus mengorbankan segalanya.[9]
Menurut
Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya
kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut
Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan
mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang
yang arif.
A.
Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir,
memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan Allah.
B.
Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah,
kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain.
Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari
Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia
mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan
sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan
dan selalu rindu pada-Nya.
C.
Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan.
Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[10]
Dari
ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak
menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan
dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana)
pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat
Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin
dituju oleh mahabbah ini.
Dengan
urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang
dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan
bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam
karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara,
datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam
perjalanannya mendekati Tuhan.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai
defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti,
mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain,
konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya
bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin
saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan
nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya
saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah
menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser
penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni.
Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu
berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam
pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan
melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada
Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan,
sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta,
tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu
adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian
cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi
memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya
adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan
yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau
kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada
Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan
dan penghayatan subyektif tiap sufi.
D.
Filsafat Iluminasi
Selanjutnya
konsep Filsafat Iluminasi yang dibangunnya juga merupakan sebuah kritik
epistemologis terhadap kaum paripatetik yang selalu mengajukan formula-formula
dalam memahami hakikat ketuhanan. Kaum paripatetik selalu menggunakan ‘Ilm
al-Hushuli sebagai epistemologinya, sementara itu bagi Suhrawardi epistemology
kaum paripatetik tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan
hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh
dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang
dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai
dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan
merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu
upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (ma’qulat) secara
silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal
yang belum diketahui.
Sementara
itu untuk melawan epistemology kaum paripatetik, Suhrawardi memperkenalkan
epistemology Hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran (observasi rohani) yaitu
pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi
berdasarkan musyahadat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhuri
ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam
mujahadat, riyadhat dan ‘ibadat dari pada memaksimalkan fungsi rasio, atau
dengan kata lain ilmuh hudhuri lebih menekankan olah dzikir dari pada olah
pikir.
Konsep
epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut
Suhrawardi, cahaya adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi
lagi karena ia sudah terang dengan sendirinya. Selanjutnya cahaya ini terbagi
pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan
cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-Aridh yang merupakan
cahaya yang tidak mandiri.
Konsep
epistemologis inilah yang akhirnya memberikan pengetahuan pada manusia yaitu
dengan memaksimalkan oleh dzikirnya agar tetap dekat dengan Tuhan atau Nur
al-Anwar dan mendapatkan Iluminasi pengetahuan. Selain itu Suhrawardi
menegaskan bahwa disamping ada dasar pengetahuan akan tetapi pengetahuan yang
sebenarnya ialah sesuatu yang datang dari dalam dirinya sendiri dalam makna
lahir dari pengenalan terhadap dirinya sendiri, hal inilah yang dalam ajaran
tasawuf dikenal dengan ma’rifah. Dalam tradisi tasawuf, ma’rifah adalah konsep
tertinggi dalam perjalanan manusia yang dalam hal ini juga berarti pengetahuan
yang Ilahi. Dari sini cahaya dipancarkan kepada setiap orang yang
dikehendaki-Nya yaitu melalui pengungkapan tabir yang akhirnya terpatri dalam
diri manusia dan dengan sadar menghilangkan keragu-raguan.
Daftar
Pustaka
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah,
(Mesir, Dar al-Kahir, 1978)
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedia Islam, Jambatan, (Jakarta,Juz II, 1992)
Harun Nasution, Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
Jamil Shaliba,
Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir, Dar al-Kairo, 1978)
Muhammad Yunus,
Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)
[1]
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm.492-494
[2]
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.92.
[3]
Harun Nasution, dkk., Ensiklopedia Islam,
Jambatan, Jakarta,Juz II, 1992, hal 77
[4]
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid
2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439.
[5]
Ibid.
[6]
Jamil Shaliba, hlm. 440.
[7]
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth.
hlm. 318.
[8]
Ibid. Hal. 139
[9]
Jamil Shaliba, hlm. 617
[10]
Harun Nasution,hlm. 70.