Sunday, 18 May 2014

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Arkeologi
Kerajaan dan Kesultanan Palembang

Yusuf Yordan
(1112022000008)
Fakultas Adab dan Humaniora
Prodi Sejarah Kebudayaan Islam




Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah kerajaan di Indonesia dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Mulai dari kerajaan samudra pasai dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya, banyak sekali mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti atau kerajaan - kerajaan Islam yang telah menjadi karakteristik Negara Indonesia selama berabad-abad. Realita kerajaan – kerajaan tersebut telah membangun dan membentuk kesatuan didalamnya.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan sejarah kerjaaan Indonesia adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti kerajaan Palembang yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi. Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan itu sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya dinasti-dinasti Palembang pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke–17M dan ke-8M sampai dengan awal abad ke-19M Tempatnya adalah dikota Palempang dan sekitarnya. Mulai dari mengenai sejarah berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab kemunduran dan keruntuhan kerajaan Palembang.







Isi
A.   Latar belakang berdirinya kerajaan Palembang
Sejarah kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19 M. Tempatnya adalah di kota Palempang dan sekitarnya, baik disebelah sungai Musi maupun di hulu dan anak-anaknya, yang dikenal dengan Batanghan Sembilan. Letaknya tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90 KM) vang bermuara di selat Bangka.
Kota Palembang semula termasuk wilavah kerajaan Budha Sriwijaya yang berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai waktu berakhirnya kerjaan Sriwijaya bermacam-macam, yang pasti setelah runtuhnya kerajaan ini mengalami kekosongan kekuasaan, dan menjadi taklukan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-15 sampai tahun 1527 M.
Salah seorang adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Aryo Damar (1455-1478), putra dari Prabu Brawijaya (1447-1451) Aryo Damar kawin dengan putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn Kertabumi (1474-1478) dengan membawaanak Raden Fatah vang lahir di Palembang dan dibesarkan oleh ayah tirinva yakni Aryo Damar (1455). Kemudian ia menjadi pendiri kerajaan Demak pada tahun 1478.[1]
Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Palembang menjadi daerah pelindung (protektorat) dari kerajaan Demak-Pajang dan Mataram di Jawa. Semula hubungan ini berjalan baik dan teratur, namun perkembangan keadaan membawa perubahan, khususnya semasa kerajaan Mataram.
Dalam sejarah kerajaan Mataram nampak sekali, bahwa hunbungan antara pusat dan daerah tidak selalu berjalan dengan baik, sebagai mana pengalaman penguasa-penguasa Palembang pra kesultanan, yang mendapat perlakuan tidak menenangkan dalam hubungannya dengan kerajaan Mataram, begitu juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario Kesumo Abdirronim sesudah menggantikan kedudukan kakaknya.
Pangeran Sedo Ing Rajek sebagai penguasa Mataram di Palembang mengalami hal yang sama, dimana beliau pada tahun 1668 mengirim urusan ke Mataram, tetapi ditolak oleh Amangkurat I. Dengan adanya hal ini maka beliau memelaskan ïkatan dengan Mataram. Maka menjadilah Palembang berdiri sendiri sebagai kesultanan Palembang Darussalam.[2]
Kapan hal ini mulai terjadi, tidak didapatkan keterangan-keterangan yang pasti. Disebutkan oleh P. Deroo Defaille dalam bukunya Dari Zaman Kesultanan Palembang sebagai berikut: Pangeran Ratu dalam tahun 1675 memakai gelar Sultan dan dalam tahun 1681 namanya Sultan Djamaluddin dan temyata orangnya sama dengan Sultan Ratu Abdurrahman dari tahun1690 yang dalam cerita terkenal dengan Sunan Tjadebalang, yang sebetulnya Tjandiwalang.

B.   Masa Kejayaan Kerajaan Palembang
Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya akan membahas mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad ke-18 telah menuju ke hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin H. Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan berkembang pesat dan timah telah memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak pemakaian tanah diserahkan kepada marga dengan menghormati batas-batas antara marga yang telah ditetapkan.
 keputusan hukuman dalam kesultanan Palembang terletak ditangan raja atau pembesar-pembesar kerajaan. Jika terjadi perselisihan diantara marga raja dapat bertindak sebagai penengah, demikian juga dalam perselisihan masalah tanah. Raja berhak menerima jasa-jasa dari penduduknya. Selain pajak, pendapatan lain kesultanan adalah "dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli primitif yang tidak berdasarkan pengertian melayu.
Dalam sistem ini raja atau pembesar pembesar kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga vang murah dan harga pasar. Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan vang terpenting adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul dalam setahun. Keuntungan dari hasil jual beli inilah yang dipergunakan oleh sultan untuk membangun kembali keraton.


C.    Pemerintah, Ekonomi dan Politik

1.      Pemerintahan
Wilayah kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan pengganti.
2.      Ekonomi
Perekonomian kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa, Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan. Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
3.      Politik
Politik yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +/- 50 tahun, membuktikan telah berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten vang berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di selat Malaka.[3]
Prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat) Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa (Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan "Belanda minta tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera.

D.   Peran Ulama di Kesultanan atau kerajaan Palembang
Sejarah penyebaran agama Islam di kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahman (1659-1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin mengajarkan ilmu Al-Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung (1714-1724) juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758) sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum muslimin pada tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal dengan nama Masjid Agung.
Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo (1758-1776) lahir di Palembang seorang ulama besar yang bernama Syekh Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke Palembang dengan membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah Methode baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.
Mangkunegara di Susuhunan Prabu Djaka di Surakarta. Surat-surat yang dikirim kepada penguasa formal tradisional, tidak hanya berisikan soal-soal ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang menyangkut politik dalam kaitannva dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan kembali rasa patriotisme dalam menentang penjajah.[4]
Terlepas pada suatu pemikiran apakah beliau termasuk golongan tasawuf Al-Ghozali atau Wahdatul wujud yang pernah diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri yang bernama Sair al-Salikin dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih banvak dibaca di negara-negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai, Malaysia, Thailand Selatan, Singapura dan Indonesia. Begitu penting dan terhormatnya kedudukan ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama mendapat tempat tersendiri disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi makam-makam para sultan Palembang disampingnya terlihat makam ulama-ulama beserta permaisuri.[5]

E.   Masa Kemunduran Kerajaan Palembang
Setelah meninggalnya Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah secara despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang diantaranya pada bidang sastra.
      Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di Palembang tidak dapat dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir lenyap. Krisis ekonomi dan politik yang dihadapi VOC dan kemudian pemerintah Belanda mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris dan akhirnya Palembang jatuh ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April 1812.
Pimpinan pertahanan kerajaan ada ditangan Pangeran Adipati Ahmad Najamuddi. seorang saudara sultan yang tidak menunjukkan loyalitasnya kepada kakaknya. bahkan bersedia berunding dengan Inggris pada tanggal 17 Mei 1812 yang menentukan bahwa PA. Ahmad Najamuddin menjadi sultan Palembang dengan syarat Palembang harus menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Sementara itu Sultan Badaruddin membangun pertahanan yang kuat di hulu sungai Musi, bermula di Buaya Langu setelah serangan ekspedisi Inggris gagal terhadap kubu tersebut, maka pertahanan dipindahkan lebih kehulu lagi yaitu di Muara Rawas.
Setelah dengan aksi militer Inggris mengalami kegagalan maka ditempuhnya jalan diplomasi dan mengirim Robinsin untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812 ditandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa sultan Badaruddin diakui sebagai sultan Palembang dan PA. Ahmad Najamuddin diturunkan dari tahtanya.
Pada tanggal 15 Juli sultan Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di keraton besar sedang PA. Ahmad Najamuddin pindah kekeraton lama. Terangnya pemainan politik Inggris semakin mengurangi kekuasaan sultan dan kondisi kontrak lebih diperberat. Waktu Belanda menerima kembali daerah jajahannya dari Inggris, politik langsung membalik situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris.
Sultan Ahmad Najamuddin adalah penguasa yang lemah berbeda dengan Sultan Baharudin yang kala itu sedang menguasai politik. Eksploitasi feodalistis dikalangan keluarga sultan merajalela, banvak perampokan dalam kekosongan kekuasaan didaerah, dan akhir situasi minp dengan anarki.
Mununghe selaku kuasa usaha Belanda bertekad menanam kekuasaan yang kuat di Palembang maka untuk tujuan itu disodorkan kontrak dengan kedua tokoh tersebut (20-24 Juni 1818). Meski kesultanan tidak dihapus, namun kekuasaan sultan lambat laun semakin berkurang. Sultan Palembang dan saudaranya untuk kedua kalinya diturunkan dari tahtanya. Keduanya mendapat daerah kekuasaanuntuk diambil hasilnya sebagai sarana penghidupannya, sedang sebagian besar daerah Palembang dikuasai Belanda.
Najamuddin yang dibelakangkan oleh intervensi Belanda, berusaha memperoleh bantuan Inggris. Usaha Raffles untuk memberi bantuan yang diharapkan itu gagal, dan akhirnya ia sebagai faktor yang membahayakan pemerintahan Belanda diamankan di Batavia. Sementara didaerah pedalaman bergolak terus, antara lain karena tercipta vakum politik dan ruang sosial yang leluasa bagi unsur-unsur bawah tanah untuk beragitasi. Orang-orang minangkabau dan Melayu yang menjadi pengikut Sultan Badaruddin sewaktu dia mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap expedisi Belanda yang terpaksa kembali ke Palembang tanpa dapat mengamankan daerah hulu.
Ada kecurigaan pada Muntinghe bahwa sultan Badaruddin ada dibelakang pergolakan di hulu sungai Musi. Beliau dituntut agar meredakan para pemberontakan, lagi pula putra mahkota agar diserahkan untuk dipindah ke Batavia. Kegentingan memuncak waktu perundingan antara Muntinghe dan sultan menemui jalan buntu. Sultan menolak untuk menyerahkan putra mahkota pada tanggal 12 Juni 1819, kapal-kapal VOC ditembaki hingga Muntighe meninggalkan Palembang menuju ke Muntok.
Pergolakan menjalar ke Bangka, Lingga dan Riau, dimana aksiaksi perlawanan terhadap Belanda Terjadi, kesemuanya karena mendapat angin dari Palembang yang berhasil mengenyahkan Belanda. Sultan Badaruddin sebagai ahli strategis tetap waspada dan membangun pertahanan kuat di sepanjang sungai Musi dan Muara sampai Palembang.
Sebelum mengirim ekspedisi, Belanda mengangkat putra Ahmad Najamuddin, yaitu Prabu Anom sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin. Ekspedisi mulai menyerang pertahanan di Plaju pada tanggal 20 Juni 1821, tetapi dipukul mundur oleh pasukan Palembang. Baru pada serangan kedua pada malam 24 Juni Plaju dapat direbut, dan Palembang dapat terbuka bagi angkatan perang Belanda.
Dalam menghadapi situasi itu, sultan Badaruddin mencoba berunding dan tidak lagi melakukan perlawanan. Tanggal 1 Juni keraton diduduki Belanda, kemudian baik kekuasaan sipil maupun militer ada ditangan Belanda dan pada tanggal 12 Juli Residen Overste Keer secara resmi memegang jabatannya dan empat hari kemudian sultan Ahmad Najamuddin dinobatkan.
Pemberontakan dibawah P. Abdurrahman dan Jayaningrat pada tanggal 22 November 1821 yang gagal memberi alasan kepada Belanda untuk menamatkan kesultanan Palembang. Susuhunan (ayah sultan Ahmad) diamankan ke Batavia sedang sultan mengungsi ke hulu sungai Musi untuk meneruskan perlaw anannya. Setelah bertahan selama delapan bulan ia pun ditawan dan diasingkan di Manado dimana ia meninggal pada tahun 1844. Dengan demikian berakhirlah dinasti Palembang yang berkuasa selam beberapa abad itu.[6]






Kesimpulan
            Jika kita tarik benang merahnya dari Kerajaan atau kesultanan Palembang merupakan kerajaan yang cukup tua dan sudah tidak asing lagi bagi kita. Karena kerajaan Palembang juga merupakan salah satu kerajaan maritime terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara pada abad ke 7-15M.
            Bukan hanya itu bahkan kerajaan Palembang juga sempat mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Badaruddin karena sikapnya yang bijaksana dan dapat mengelola hasil kerajaan seperti timah dengan bijak. Sampai masa keruntuhan kerajaan Palembang setelah sepeninggalan Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin.
Walaupun putra dari Sultan Badaruddin memiliki kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi perang tetapi kehancuran dari kerajaan atau kesultanan Palembang tidak bisa dihelakkan walaupun dari ada beberapa factor yang mendukung hancurnya kerajaan Palembang.













Daftar Pustaka
·         Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan.
·         Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV
·         Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)



[1] Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera, 1995) hlm. 45
[2] Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV
[3] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 47
[4] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 49
[5] Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan
hlm. 212.
[6] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 51
Oleh: Yusuf Yordan

Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah Islam dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Dimulai dari masa Rosulullah SAW, shahabat, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya Islam, banyak sekali mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau Islam tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti Islam yang telah menjadi karakteristik Islam selama berabad-abad. Realita dinasti-dinasti Islam telah membangun dan membentuk kesatuan Islam.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan sejarah peradaban Islam adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti Islam yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi. Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan Islam sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya dinasti-dinasti Islam pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan dinasti mamluk atau mamalik yang telah berlangsung antara tahun 648 H / 1250 M hingga 922 H / 1517 M. Mulai dari mengenai sejarah berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab kemunduran dan keruntuhan dinasti mamalik di Mesir.








A. SEJARAH MUNCULNYA DINASTI MAMALIK/MAMLUK DI MESIR
Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar manjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan ‘abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayub. Mamluk Dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku Bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia.
Dinasti Mamluk atau Mamalik adalah sebuah dinasti atau pemerintahan yang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayubiyah sebagai budak, yang kemudian di didik dan dijadikan tentara, dan mereka ditempatkan di tempat yang tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Penguasa Ayubiyah yang terakhir, yaitu al Malik al Saleh, yang menjadikan budak sebagai pengawalnya untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa itu pun mereka (Kaum budak) mendapatkan hak yang menjaminkan, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbaan meteril.[1]
Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M). Anaknya yang bernama Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi dari pada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah anak dari al-Malik al-Salih. Lalu istri dari al-Malik al-Salih yang bernama Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.
Dibawah kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian mempersunting seorang tokoh terkemuka Mamalik yang bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir.
 Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.[2]



B.  PEMERINTAHAN PADA MASA DINASTI MAMALIK BAHRI
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materi-materi sipil dan militerSejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan). Dinasti Mamalik bahri dirintis oleh Aybak yang sekaligus menjadi sultan pertama di dinasti tersebut.[3]
Aybak berkuasa kurang lebih selama tujuh tahun (1250-1257 M), karena meninggal. Setelah itu ia digantikan oleh anaknya, yang bernama Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M karena dianggap terlalu muda untuk menjadi seorang pemimpin, dan digantikan oleh wakilnya yaitu Qutuz.
 Setelah Qutuz naik tahta Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz, Baybars dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut.
Kemenangan tersebut atas tentara Mongol membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa Mamalik.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di Kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars, mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./1260 M.-676 H./1277 M.), karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi selain Baybars. Selain itu ia termasuk sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik lainnya.
Baybers pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik. Kejayaan yang diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia. Terlebih lagi prestasi Baybars yang lainnya ialah dapat menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258.
            Pemerintah dinasti Mamluk/Mamalik selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dia dibai’at sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M. Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu, Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang antara tahun 659-923 H./1260-1517 M.
Tidak begitu banyak yang berarti dari kerajaan Mamalik di bawah pimpinan Bani Babiris. Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./1280 M.-689H./1290 M.) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan pribadinya.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./1296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbul nama dan tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairy, “mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun “, sampai sultan terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Asyraf bin Sya’ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
C. PEMERINTAHAN PADA MASA DINASTI MAMALIK BURJI
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Brquq (784 H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf Sya’ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji, baik dari segi status para sultan yang di merdekakan atau pun dari segi sistem pemerintahan yang oligarki.
Perbedaan dari kedua pemerintah tersebut adalah sukses pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808 H./1405 M.), putra sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu jengis khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771 H./1370 M.-807 H./1405 M.), melakukan penyerangan ke wilayang Suriah. Timur Lenk tampaknya mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman Hulagu Khan ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan Mamluk pun menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut. Pada tahun 1401, Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus yang dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar. Ketika pasukan Mamluk disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota itu dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni Al-Asyraf Baribai (825 H./1422 M.-841 H./1437 M.) dan Al-Zahir Khusyqadam (865 H./1461 M.-872 H./1467 M.) masih harus terus mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan salib di kepulauan Cyprus dan Rhodos (Laut Aegea, sekarang milik Yunani). Kedua ekspedisi militer ini berhasil menahan kekuatan kaum Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan keunggulanya untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.
Melihat Banyaknya sultan-sultan Mamluk Burji yang naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau pertentangan yang terjadi. Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari luar wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan persatuan dan banyak yang meminta bantuan dari luar. Sebagai contoh pada masa pemerintahan Sultan Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-901 H./1496 M.), terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan gerakan pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir. Pada masa pemerintahan ini, terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam (Mamluk) maupun dari pihak luar seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang portugis yang melarang dan mengusik jalur perdagangan Mamluk di Laut Tengah hingga tewasnya Sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada tahun 922 H./1516 M. sejak saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih. Namun, pada saat itu ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani. Akhirnya, Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, pada tahun 923 H./1517 M. Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasaan Turki Utsmani di Mesir dan Syam.[4]


D. KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN DINASTI MAMALIK/MAMLUK DALAM DUNIA ISLAM.
Kemunduran dan Kehancurannya Dinasti Mamalik/Mamluk mencapai banyak kemajuan berkat wibawa dan kepribadian para sultan yang sangat tinggi, loyalitas masyarakat dan loyalitas para militer kepada negara, solidaritas sesama militer, stabilitas keamanan negara yang bebas dari ancaman dan gangguan dari luar.
 Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongold' Ayn al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik.
Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsaMongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, dan menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal namaNashiruddin ath-Thusi. Di bidang matematika Abul Faraj al-'Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abul Hasan 'Ali an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abdul Mun'im ad-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid dan ahli hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi Rahimahullah yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.[5]
Akan tetapi, setelah semua itu menjadi pudar dan menipis, mulai pula dinasti ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Dinasti Mamluk ini berkuasa selama kurang lebih 267 tahun melewati 47 sultan dengan prekuensi pergantian pimpinan sebanyak 53 kali. Kemunduran dinasti ini bermula dari peralihan kekuasaan dari tangan Mamalik Bahri ke Mamalik Burji.
Kemunduran ini secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu, faktor internal, dan faktor eksternal. Secara internal, diawali dengan menurunnya solidaritas antara sesama militer, hal ini dipicu oleh kehadiran Mamluk Burji dari Circassia yang dibawa oleh sultan Qalawun. Apalagi setelah Mamluk Burji ini berkuasa solidaritas dan disiplin tentara merosot, dan secara militer Mesir sudah menjadi lemah. Penguasa Burji banyak di antara mereka yang bermoral rendah, tidak menyukai ilmu pengetahuan, hidup bermewah-mewah dan berpoya-poya, korupsi uang negara mengakibatkan pajak dinaikkan, akibatnya semangat kerja rakyat menjadi menurun dan perekonomian negara merosot dan tidak stabil.
 Kondisi ini semakin diperparah dengan datangnya musim kemarau panjang dan berjangkitnya berbagai wabah penyakit. Secara eksternal, kemunduran tersebut disebabkan oleh penemuan Tanjung Harapan di Afrika Selatan oleh Vasco da Gama (Portugis) pada tahun 1498 yang dijadikannya sebagai jalur perdagangan dari negeri-negeri penghasil rempah-rempah. Akibatnya, jalur pelabuhan rempah-rempah dari India ke Eropa, menyebabkan pelabuhan besar Kairo dan Syiria lambat laun menjadi sepi sehingga penghasilan negara dari sektor pelabuhan semakin merosot.[6]
Faktor lain sebagai penyebab langsung kemunduran dan kehancuran dinasti Mamalik adalah munculnya kekuatan baru dari kerajaan Usmani. Kerjaan inilah yang mengakhiri riwayat dinasti Mamalik di Mesir. Sejak kekalahan pasukan Mamalik menghadapi pasukan Usmani dalam suatu pertempuran sengit di luar kota Kairo pada tahun 1517 M., wilayah Mesir jatuh ke dalam kekuasaan Turki Usmani, bahkan Mesir dijadikan salah dari satu provinsinya. Hal ini berlangsung sampai akhirnya Napoleon Bonaparte dari Perancis mencaploknya dari Turki Usmani.




PENUTUP
Dinasti Mamalik dibentuk melalui persekongkolan antara Syajaratuddur (istri Malik al-Shaleh sebagai sultan terakhir dari dinasti Ayyubiah) dengan elit militer Mamalik. Dinasti ini secara resmi berdiri setelah Syajaratuddur menyerahkan kekuasaannya kepada suaminya Izzuddin Ayabek. Melalui kesuksesan kepemimpinan sebanyak 53 kali melewati 47 sultan dan dinasti Mamalik dapat mengukir sejarah dengan mengembangkan kekuasaannya selama kurang lebih 267 tahun dan mencapai keberhasilan-keberhasilan di berbagai hal, baik di bidang ilmu pengetahuan, pemerintahan, ekonomi mupun seni dan budaya.
Kemajuan inilah yang justru menjadi mata rantai yang menghubungkan umat Islam pada priode sesudahnya dengan peradaban klasik, yang melahirkan ilmuan-ilmuan terkenal di bidangnya masing-masing. Namun demikian, prestasi gemilang ini akhirnya menghadapi suatu kenyataan pahit sejak berkuasanya Mamalik Burji yang menyebakan merosotnya solidaritas sesama militer. Selain itu, para sultan tidak mempunyai kemampuan di bidang pemerintahan, berakhlak buruk, melakukan korupsi, sehingga memperburuk perekonomian dan stabiltas dalam negeri serta memperlemah kekuatan militer. Akibatnya, mereka tidak mampu lagi membendung serangan kerajaan Usmani sehingga riwayat besar dinasti Mamalik di Mesir hanya tinggal kenangan.













Daftar pustaka
Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafind Persada, 2007)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Http://Pustaka.Abatasa.Com/Pustaka/Detail/Sejarah/Allsub/146/dinasti-mamalik-di-mesir-masa-kemunduran.html



[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (bandung : pustaka setia, 2008), 235
[2]  http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/sejarah/allsub/146/Dinasti-Mamalik-Di-Mesir-Masa-Kemunduran.html (diakses pada hari sabtu 5 oktober 2013)
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 236
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm.241-243.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafind Persada, 2007), 126-128.
[6] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 313.

Friday, 16 May 2014

Oleh : Yusuf Yordan
Bab I
Pengantar
                Menelaah perkembangan para cendikiawan muslim bak disadari dalam rentanan waktu sudah banyak menuai kegemilangan dan kemajuan di kancah dunia Islam. Ditengah carut marut masyarakat negeri ini zaman kekinian, ternyata masih tersimpan suatu akan ide maupun tindakan para leluhur yang telah meneliti era tersebut yang pengaruhnya tentu masih bias kita rasakan hingga sekarang.
            Satu tema yang tidak boleh lekang dari perbincangan para cendikiawan Islam adalah tokoh pemikiran filosof Ibnu Miskawaih yang sangat menarik kita bahas. Sebagai salah satu filosof muslim, Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam sejarah filsafat Islam.
Namun dalam kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang dapat dikenal dan diterima oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah cukup membuktikan bahwa dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim, seperti al-Kindi atau al-Farabi.
            Tak ayal, dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan. Guna mempermudah pembaca, penulisa akan memaparkan biografi Ibnu Miskawaih serta karya – karyanya dan pemikirannya;













Bab II
Isi
·        Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[1]Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al- Daullah.[2]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasahi secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[3]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[4]
Dari beberapa pernyataan Ibn Sina dan al-Tauhidi bahwa mereka menyatakan ia tak mampu berfilsafat sebaliknya Iqbal menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.[5]
·         Karya – Karya Ibnu Miskawaih
Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam
4. Uns al-Farid
5. Tartib al-Sa’adat
6. Al-Mustaufa
7.  Jawidan Khirad
8. Al-Jami’
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs
11. On the Composition of the Bajats
12. Al-Ashribah
13. Tahzib al-Akhlaq
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18. Thaharat al-Nafs.[6]


·        Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
1.       Hikmah dan Falsafah
Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya.  Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[7]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
 Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemauan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sangat sejalan dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya, kesempurnaan moral dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, maka dia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[8]
2.     Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz al-Ashghar;
A.Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[9] Menurut De Boer, Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.[10]
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa, timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.[11]
Berdasarkan pendapat Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan al-Farabi, sebagai berikut:
1. Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran daru sesuatu yang sudah ada menjadi ada.
2. Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi al-Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal pertama, sedangkan akal aktif adalah akal yang kesepuluh.
B. Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[12]
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.[13]
C. Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan, tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan dan dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang). Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang di dalamnya intelegensi mulai  menyatakan dirinya dalam sebuah skala yang meninggi. Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.[14]

3.     Etika atau Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.[15]
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.[16] Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[17] Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[18]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.[19] Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.[20]

4.     Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan setelahnya.[21]

5.     Politik
Mengutip pendapat Azdsher[22], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.[23]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[24]

6.     Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada dirinya.[25]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.[26]















Bab III
·        Kesimpulan
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Ini terbukti dari pernyataan para filosof yang pernah menjadi gurunya, yaitu Ibnu Sina dan At-Tauhidi, yang menganggapnya salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.
Usahanya untuk menjembatani antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani menghasilkan sebuah argumen yang tidak mendasar dan kurang dapat diterima. Banyak filsafatnya, seperti teori pembuktian Tuhan secara negatif atau emanasi mendapat kritikan dari banyak pemikir muslim. Filsafat Miskawaih pun patut diragukan karena hilangnya beberapa sumber yang dia pakai dalam mendukung tulisan-tulisannya. Sumber-sumber tersebut hanya dapat direka-reka.
Akan tetapi, filsafat Miskawaih dalam hal etika merupakan karya terbesar dalam sejarah Islam. Ini terbukti dari gelar yang dia dapat, yaitu Bapak Etika Muslim.
·        Kritik
          Pemikiran Miskawaih mengenai emanasi, bahwa dia meragukan kekuasaan Allah untuk menciptakan segala sesuatu sangat perlu dikritik. Pengaruh filsafat Yunani yang sangat besar pada pemikirannya membuatnya terlihat seperti meletakkan ketauhidan ajaran agama Islam di bawah filsafat Yunani. Sebagai muslim, Miskawi tentu mengerti bahwa kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta.
Seperti dalam surat Yaasin ayat 78 dan 79, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk...”
Sedang dalam etika, meskipun Miskawaih lebih cenderung memilih sumber dari ajaran agama Islam, dia cenderung lebih menggunakan istilah-istilah yang digunakan oleh para filosof Yunani. Penyusunan pemikiran yang kurang tepat akan menimbulkan kesan yang kurang tepat pula. Padahal, jika Miskawaih dapat menyusunnya dengan lebih tepat, niscaya ajaran agama Islam akan lebih dihormati oleh banyak kalangan.
Daftar Pustaka
·         DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.

·         M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan.

·         Mustofa, H. A., Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

·         Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.

·         Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

·         Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.

·         Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2010.

·         http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf



[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[2] DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication. Hlm.128
[3] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993. Hlm.47
[4] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 127-128.
[5] M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan. Hlm.84
[6] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 128-129
[7] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[8] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 170
[9] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[10] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[11] Nasution, Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm. 59
[12] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[13] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[14] Nasution, Ibid, hlm. 60.
[15] Zar, Ibid, hlm. 135.
[16] Mustofa, Ibid, hlm. 177
[17] Nasution, Ibid, hlm. 61.
[18] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[19] Zar, Ibid, hlm. 135.
[20] Nasution, Ibid, hlm. 62.
[21] Nasution, Ibid, hlm. 66.
[22] Seorang raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[23] Mustofa, Ibid, hlm.186
[24] Ibid.
[25] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
[26] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!